Sabtu, 28 Oktober 2017

Kopi dan Kreativitas yang Tak Mati-mati

*Dedy Ahmad Hermansyah




Seperti perjalanan hidup ini, kopi juga kerap disalahpahami dan selalu menyimpan misteri. Orang-orang mengutuk, memuja dan mencari kebijaksanaan dalam kehidupan—begitu pula perlakuan dalam perkopian. Ada yang memimpikan hidup yang bersahaja, tidak muluk-muluk, namun ada juga yang mencari tantangan di dalamnya—kopi juga, para pecintanya menikmati kebersahajaannya, memburu kebaruannya, dan menantang diri untuk rasa dan sensasi yang belum ditemukannya.
Kopi yang tak dikaji adalah kopi yang tak layak dinikmati. Demikian para filsuf kopi bernubuat. Dan dalam perjalanan ‘pengkajian’-nya, kopi kaya dengan kisah-kisah unik dan tak jarang menginspirasi.
Di Inggris, kopi baru terkenal di tahun 1600-an. Namun, 50 tahun sebelum itu, seorang ilmuwan penting yang penemuannya tentang sirkulasi darah dalam tubuh manusia menjadi referensi banyak ilmuwan lainnya, Harvey, telah tergila-gila dengan minuman pembangkit kreatifitas ini. Kegilaannya bermula sejak lawatannya sekaligus menuntut ilmu di fakultas kedokteran di salah satu universitas terbaik masa itu di Italia. Para ahli botani dan kawan-kawan Arab-nya lah yang memperkenalkannya kopi.
Sepulang dari Italia, ia mulai rajin mengimpor kopi untuk digunakan secara pribadi. Sampai ia meninggal dalam usia 79, kopi tak pernah alpa menemani masa hidupnya. Konon, dia menjemput ajal dengan sebuah biji kopi terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya. “Biji kecil ini adalah sumber kebahagiaan dan kecerdasan,” begitu ia berseru.
Ia mewariskan 25 kilogram kopi beserta seluruh simpanannya untuk rekan-rekannya di Royal College of Psyichians. Ia memberi syarat: kawan-kawannya harus menaburkan serbuk kopi warisan itu setiap bulan sampai persediaannya habis. Legenda mengatakan, penemuannya tentang sirkulasi darah dalam tubuh manusia tadi bermula saat ia menikmati kopi terlalu banyak, sampai ia mampu mendengar detak jantungnya sendiri.

Jumat, 27 Oktober 2017

Sumpah Pemuda, Perjalanan Jatuh Bangun Mencari Simbol Kebangsaan

*Dedy Ahmad Hermansyah





Sumpah Pemuda merupakan sebuah simbol penting bagi bangsa Indonesia. Ia menjadi satu momen dalam sejarah di mana nilai-nilai persatuan sebagai satu bangsa diperbincangkan dan dirumuskan. Di sana ada perdebatan panjang serta penuh konflik berkaitan dengan bentuk persatuan yang ideal, yang saling tumpang tindih dengan kepentingan kekuasaan di masing-masing rezim. Mempelajari serta memahami baik sisi terang dan gelap sejarah Sumpah Pemuda ini mutlak dibutuhkan untuk membangun sikap kritis. Untuk itu, segala gelagat dari pihak mana pun yang mencoba menutup ruang bagi kajian kritis kepada sejarah dan memaksakan satu versi mestilah dikritik dan dilawan.

Dengan semangat itulah Keith Foulcher menuliskan esai historiografinya “Sumpah Pemuda: the Making and Meaning of a Symbol of Indonesian nationhood”. Hasil penelitiannya selama kurang lebih dua tahun itu kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia”. Ia mengajak kita bersikap lebih kritis terhadap makna Sumpah Pemuda yang, menurutnya, selalu ditunggangi oleh kekuasaan sesuai dengan ideologi yang diusung. Ahli bahasa dan Sastra Indonesia ini berhasil menyajikan data-data penting dan detail berkaitan dengan proses rekonstruksi serta reproduksi makna Sumpah Pemuda di masing-masing rezim sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia.

Esai yang aslinya diterbitkan dalam jurnal Asian Studies Review, volume 24, nomor 3, September 2000 ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana pertama kali penggagasan penciptaan simbol persatuan oleh para pemuda, tarik-menarik pengaruh masing-masing pelaku terkait konsep ideal sebuah persatuan, peran negara dalam memanfaatkan momen itu kemudian menyematkan makna baru sesuai kepentingannya. Eksplorasi yang padat data tujuannya bukan untuk menggugat peristiwa Sumpah Pemuda itu sendiri, namun agar kita sebagai bangsa lebih bisa memahami Indonesia dengan lebih dalam.

Kamis, 26 Oktober 2017

Puisi dan Gairah Sebuah Kota

*Esha Tegar Putra  




[Catatan ini dibuat untuk agenda diskusi Octofest 2017, 23 Oktober 2017, di Mataram, Lombok. Berangkat dari tawaran Kiki Sulistyo untuk membicarakan hubungan puisi dan proses penulisan puisi dengan kota. Saya memulai dari persentuhan saya dengan Padang. Melanjukan dengan contoh beberapa puisi dan peristwa puisi yang ditulia oleh beberapa penyair tentang kota. Tulisan ini hanya pembacaan awal untuk kemudian akan dilanjutkan kembali pembicaraannya di Padang dengan riset yang diupayakan lebih lengkap. Banyak karya-karya tentang kota di Indonesia yang tidak dapat saya runut dalam makalah ini. Mudah-mudahan mendapat pemakluman dari pembaca sekalian. Salam hangat.]



Beberapa tahun belakangan orang-orang gemar melakuan perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu dusun ke dusun lain, dari satu tempat recom m ended ke tempat recom m ended lain. Orang-orang menyebut tubuh mereka sebagai backpacker — tidak dapat dipadankan dengan pengelanaan. Dari satu lanskap ke lanskap lain mereka lipat ke dalam potret, disebar ke media sosial, dan gairah perjalanan mereka diterima oleh para backpacker lainnya. Suasana dihadapkan pada kacamata eksotisitas, sebuah lanskap dibekap dengan bantuan filter kamera dan berbagai aplikasi penjernih lain.  

Maka terhidanglah pada kita: pantai bersih dengan gadis molek berkacamata hitam duduk santai berselonjoran; potret orang berdiri di atas batu karang menjulang tinggi dengan latar laut jernih dan bukit kerang melingkar; gunung di tengah laut dihimpit dengan gelas wine; kaki (dan hanya kaki) kelihatan menjuntai di ujung biduk; dst. dan sudah barang tentu sepenggal ‘puisi’ mengiringi potret-potret tersebut dengan kekaguman teramat sangat terhadap lanskap daerah yang mereka kunjungi—untuk tidak mendekatkannya dengan puisi maka diistilahkan dengan caption. 

Secara garis besar saya ingin mengetengahkan gambaran bagaimana laku ‘puisi’ di tengah-tengah manusia kekinian. Sebelum masuk ke tawaran Kiki Sulistyo mengenai topik lanskap “kota sebagai sumber penciptaan” atau gerak perubahan kota dan bagaimana karya sastra berupaya mencari jalan untuk menjadi bagian dari ingatan kolektif—bermula dari ingatan personal, ketika karya hadir ia kemudian bergerak menjadi ingatan kolektif. Ternyata orang-orang masih butuh hidangan puisi berbarengan dengan bentangan lanskap yang dipajang di laman media sosial. 

Rabu, 25 Oktober 2017

Bila Pramoedya Menulis Korupsi

*Nurhady Sirimorok




“Saya baru baca satu karya Pramoedya Ananta Toer, Korupsi.” Begitu kata kawan saya, seorang peneliti Perancis. Ia mengenang pertemuannya dengan buku ini sebagai pengalaman yang mengesankan. Dan dari kisah perjumpaannya dengan Korupsi, saya belajar satu hal lagi dari sang novelis, Ia memang tukang nujum yang lihai.

Di tahun 1981, Denys Lombard menerjemahkan Korupsi ke dalam bahasa Perancis. Karya ini rupanya sampai ke tangan seorang penulis Maroko yang sudah lama bermukim di Perancis, Tahar Ben Jelloun. Ketika sang novelis membaca karya ini ia langsung tertarik. Begitu terinspirasinya sehingga ia kemudian berpayah-payah menulis ulang karya ini, mengubah konteksnya menjadi konteks Maroko, jadilah L’Homme Rompu.

Dalam edisi bukunya Ben Jelloun menuliskan bahwa bukunya adalah saduran karya Pramoedya Ananta Toer. Dan keputusannya tak keliru. Bukunya dicintai publik Maroko hingga laku keras jauh lebih laris dari versi bahasa Perancis, terjemahan Denys Lombard, dari mana versi itu disadur. Ledakan versi Ben Jelloun inilah yang mendorong kawan saya memburu karya asli Pramoedya. Ia akrab dengan bahasa Indonesia, Ia Christian Pelras.

Mengapa buku ini bisa laku keras bahkan di negeri jauh? Ada yang universal sekaligus unik dalam buku ini. Universal karena menceritakan hal yang manusiawi: pertarungan menuju eksistensi dan kenyamanan hidup; dan unik karena sudut pandang dari mana Pram menyampaikan ceritanya.

Sabtu, 21 Oktober 2017

Imajinasi Sinetron dalam Cerpen Hamsad Rangkuti

*Irma Agryanti




Mencari kecacatan dalam cerpen Hamsad Rangkuti bagi saya sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Sebagai orang yang bukan ahli dalam melakukan kritik sastra, saya merasa tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa secara kebahasaan dan atau secara teknik. Satu-satunya hal yang kemudian coba saya dekati ketika membaca kumpulan cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” adalah posisi Hamsad sebagai pengarang terhadap runtutan cerita yang dibangunnya.

Ada 16 cerpen di dalam buku “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” dan dari pembacaan saya terhadap buku tersebut, kelemahan cerpen Hamsad yang tampak di beberapa cerpennya yaitu tidak adanya biografi tokoh-tokoh baik itu tokoh utama maupun tokoh lainnya. Sebagai suatu peristiwa saya kira tak masalah jika seorang tokoh tiba-tiba muncul tanpa biografi apapun tetapi sebagai sebuah cerita tentu biografi sangat dibutuhkan sebagai keterbacaan kronologis cerita dalam hal ini adalah ketersampaian motif pengarang kepada pembacanya. Karena itu bagi saya tindakan Hamsad yang tanpa memberikan biografi ini seolah-olah seperti ia melemparkan tokohnya begitu saja ke dalam wilayah cerita.

Dalam cerpen Dia Mulai Memanjat, Hamsad “melemparkan” seorang tokoh laki-laki yang setiap tengah malam memanjat patung untuk menggergaji kepala patung tersebut. Pekerjaan itu ia lakukan setiap malam sampai menjelang subuh dan hingga malam ke 12 akhirnya kepala patung tersebut berhasil terpenggal. Siang harinya warga kota ramai berkumpul di sekitar patung untuk memotret. Malam harinya setelah jalan raya sepi, laki-laki tersebut mulai memanjat lagi. Dalam cerpen ini hamsad sama sekali tidak menjelaskan biografi si tokoh laki-laki (siapa, dari mana, bagaimana) sehingga landasan si tokoh melakukan tindakan-tindakan tersebut tidak terbaca oleh pembaca. Pembaca seolah hanya disuguhkan sebuah peristiwa tentang seorang laki-laki yang berhasil memenggal kepala patung.

Jumat, 20 Oktober 2017

Membaca Hamsad Rangkuti: Karya dan Dunianya

*Iin Farliani




Telah banyak diulang persoalan kemiskinan pada pengantar di buku-buku Hamsad Rangkuti yang dicetak ulang, sehingga jika saya membicarakannya lagi dalam telaah sederhana ini, ibaratnya menggarami lautan. Rangkuman pembicaraan kemiskinan lazimnya terjebak pada sengkarut sekelompok manusia yang terperangkap dalam ketidakberdayaan. Wilayah yang seolah memancing kecaman moral kepada segala hal yang dianggap tidak seimbang. Sambutan yang kemudian diharapkan adalah munculnya semacam empati kepada mereka yang tertindas, mereka yang muskil menjangkau apa-apa yang berada di atas.

Meneropong kemiskinan dalam bahasa ‘kelompok’ acap kali mengabaikan suara-suara pribadi. Kesedihan sebagai sesuatu yang intim menjelma menjadi kesedihan yang umum. Kemiskinan tampil sebagai sekedar rentetan yang melingkar-lingkar antara penindas dan yang ditindas. Sehingga kemudian, kemiskinan yang dihadirkan bagaikan adonan pengalaman yang meronta menuntut keadilan.

Apa yang tertangkap oleh saya selama pembacaan karya Hamsad Rangkuti juga tak lepas dari persoalan kemiskinan. Diterima atau dielakan, esai ini niscaya juga menambah perbendaharaan perihal kemiskinan yang mendominasi karya Hamsad Rangkuti. Apakah itu kemudian menutup pintu makna lain yang bisa dilihat dari kemiskinan itu? Khususnya jika mengulik cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti, tidak adakah sesuatu yang dapat jauh lebih diurai dari wilayah kemiskinan itu sendiri?

Membicarakan karya Hamsad Rangkuti, gambaran umum yang kemudian muncul adalah pertalian karyanya dengan kehidupan pengarangnya. Lintasan hidupnya sebagai pendatang di Jakarta telah membawanya pada realitas kemiskinan di gubuk-gubuk kere sepanjang tepi Kali Malang, gubuk-gubuk pelacuran Planet senen, hingga berani menyingkap gorden kamar-kamar perempuan penghibur. Kepindahannya itu menjadi bahan rangsangan kreatif yang kuat untuk menghasilkan deskripsi yang lincah mengenai kere-kere di gubuk kali, kejahatan kriminal di kota besar tanpa harus terjebak ke dalam idea-idea “kemiskinan” yang lebih condong mengejar dramatisasi. Siapa dapat tahan membaca cerpen yang penuh dengan demonstrasi penderitaan tanpa adanya suasana sebuah dunia pribadi yang tetap terpelihara? Hamsad Rangkuti adalah penulis yang jeli menangkap suasana pribadi itu sekaligus membuatnya tetap terjaga hingga akhir cerita.

Kita tak dapat melupakan misalnya tokoh aku dalam cerpen Perbuatan Sadis yang tidak dapat berbuat apa pun terhadap wanita di hadapannya yang menjadi korban penodongan. Mulanya, pembaca seakan diberi ruang untuk melepas kelegaan ketika si tokoh wanita memberitahu tokoh aku bahwa kalung yang dirampas oleh dua perampok itu hanya kalung imitasi. Tetapi, keadaan kemudian kembali menjadi genting saat dua pelaku itu kembali ke tempat kejadian perkara lalu memaksa wanita itu menelan kalung imitasinya. Kegetiran tidak selesai sampai di sana sebab cerpen ditutup dengan teriakan tokoh wanita yang histeris mengatakan, “Tolong! Tolong! Saya menelan perhiasan!”

Kamis, 19 Oktober 2017

Membaca Riwayat Benjor

*Itsna Hadi Saptiawan




Budi Darma dalam pengantar kumpulan cerpennya Orang-Orang Bloomington (1980) menyatakan bahwa setiap pengarang pada hakikatnya memperjuangkan tema. Yang lain-lain seperti bahasa, plot, karakterisasi, dan sebagainya hanya dapat ada untuk mendukung tema. Setujukah Anda? Silahkan beliau didebat. Namun bila dipikir lagi, tampak bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Seorang penulis belajar mengenali huruf, setelah itu belajar merangkai kata, menyambungnya dalam frasa, lalu membungkusnya sebagai kalimat dan seterusnya. Yang tetap melekat di pikirannya sedari awal adalah tema. Bahasa hanya alat mengemukakan pendapat. Karena itulah maka pada karya penulis pemula unsur-unsur selain tema terkesan eksperimental, kalau tidak mau menyebutnya norak dan ugal-ugalan. Alur, tipografi, persajakan, atau karakterisasi merupakan barang mentah yang coba diolah oleh seorang penulis pemula menjadi sajak atau cerpen. Hasilnya, wallaahualam.

Terminologi ‘coba-coba’ ini yang lalu layak dipertanyakan. Karena sastra merupakan bangun bentuk dan isi, pada sisi mana terminologi ini layak disematkan? Apakah pada bentuknya yang inovatif, ataukah pada isinya yang cenderung bombastis?

Saya terdiam sejenak. Saya memahami, sebagai orang yang pernah lalai atas tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengajaran di sekolah dan kampus, tidak mudah menemukan justifikasi yang tepat bagi setiap vonis yang diberikan kepada karya-karya para penulis pemula. Ini hanya salah satu dari sekian istilah yang ditempelkan ke jidat anak-anak itu. Dan tidak dapat disangkal jika beberapa alasan yang menyebabkan munculnya istilah ini berkaitan erat dengan ketidaksamaan teori dan praktik. Jauh panggang dari api. Atau pada tingkatan yang sarkastik, ketidakmampuan para penulis pemula memenuhi kualitas super pada karya yang dihasilkannya.

Pada Bayu, saya speechless. Budi Darma turut memberikan pengakuan, Bro! Apalah arti saya yang tidak punya satu cerita pun untuk dipamerkan. Membaca satu persatu cerpen dalam kumpulan miliknya membuat saya hendak mengenyampingkan deduksi pada tiga paragraf yang awal. Saya rasa, beberapa orang memang terlahir lebih matang dalam hal keahlian bercerita, sedang yang lain terlahir prematur untuk mencela cerita orang itu. Persis seperti yang saya lakoni sekarang.

Jadi apakah Bayu seorang yang eksperimental seperti diusulkan oleh premis di atas? Atau tidakkah sebaiknya kita hanya mengambil dua silabe akhir dari terminologi tersebut? Nah untuk memahaminya, mari membaca terlebih dahulu.

Minggu, 15 Oktober 2017

Cerita-Cerita Lain di Balik Gerimis

*A.S. Rosyid




[disajikan dalam acara bedah buku “Gerimis di Atas Kertas”, di Kota Mataram, 10 Oktober 2017]

*****


1.
Salam kenal, nama saya Ical. Saya penulis buku “Gerimis di Atas Kertas”. Saya pengajar di Madrasah Alam Sayang Ibu sebagai guru literasi, dan menjadi pustakawan di Komunitas Djendela (dulu bernama KCB-Mataram). Tapi keduanya tidak lagi saya lakukan karena saat ini saya meneruskan studi Filsafat dan Pemikiran Islam di Kota Malang.

Saya bukan penggemar buku-buku sastra (dalam pengertian tertentu). Selama ini saya hanya menikmati bacaan yang punya daya gebrak atas pemahaman-pemahaman mapan (established). Buku-buku filsafat, pemikiran sosial, dan gagasan kiri termasuk di antaranya. Namun dalam fiksi, saya lebih menggemari karya populer. Andrea Hirata atau Tere Liye adalah salah dua yang karyanya selalu saya beli.

Bacaan yang lebih berat, paling hanya berkutat pada novel, cerita pendek, atau puisi-puisinya Kuntowijoyo, novel-novel karya Romo Mangunwijaya, cerpen-cerpen Putu Wijaya, atau puisi-puisi Joko Pinurbo, Gus Mus, dan Rendra—sekitar itulah. Mereka yang menulis dengan kata-kata yang tidak terlalu bikin pusing. Saya membaca karya mereka pun bukan sebagai penikmat sastra. Saya membaca karena ada sesuatu yang menggedor-gedor dinding hati saya: semangat pemihakan, perlawanan, dan pembebasan.

Sabtu, 14 Oktober 2017

Gerimis di Atas Kertas: Tiga Cerita Mengikat Satu Ruh--Komunitas Literasi

*Rohani Inta Dewi







Ini adalah novel karya A.S Rosyid—atau yang lebih familiar saya sapa Ical. Dengan penuh kejujuran saya katakan, saya baru tahu nama asli Ical setelah membaca novelnya (teman macam apa aku ya, hehe). Novel Gerimis di Atas Kertas ini menyuguhkan hal-hal dengan segar. Membuat semuanya terasa dekat dengan kita, terutama bagi teman-teman penggiat literasi Lombok khususnya, dan NTB pada umumnya.

Membaca novel Ical ini, saya merasa diajak flashback dengan gerakan-gerakan literasi yang telah dan sedang dilakukan oleh pemuda-pemuda penggiat literasi, yang mayoritas inisiatornya lulusan luar lombok dan NTB (tentu tidak semuanya). Seperti Teman Baca insiatornya dari alumni Makassar, Buku Ini Aku Pinjam alumni Jogja, Bale Bace Khatulistiwa alumni Malang dan Jogja, Club Baca Perempuan alumni Jogja, dan KCB inisiatornya ya sang penulis novel yang sedang saya resensi ini dan sekarang sedang melanjutkan studi masternya di kota apel Malang. Konon katanya komunitas ini bermetamorfosa menjadi Djendela.co. Serta gerakan-gerakan literasi lainnya yang sangat menjamur, tumbuh, dan berkembang pesat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Di bagian novel yang membahas kedai kupi, secara langsung penulis menyebutkan kedai araq-araq doank. Di situ saya merasa senang dan sedih, senang karena tanpa kami sadari menjadi sekilas inspirasi dari sang penulis. Sedihnya bahwa kedai araq-araq doank ini yang lebih konsisten menyuguhkan buku-buku untuk dibaca daripada menu-menu untuk disantap sekarang sudah tinggal nama dan tak beroperasi lagi karena suatu hal yang hanya kami dan Tuhan yang mengetahuinya.

Selain menyuguhkan kisah cinta Royyan ke Hasyim, Hasyim ke Ayu secara dewasa di mana cinta tak harus memiliki terpatri dari rasa cinta Royyan untuk Hasyim, serta cinta membutuhkan kesabaran terpancar dari cinta Hasyim ke Ayu yang pada akhirnya bersatu.

Ical juga menonjolkan nilai toleransi di dalam novel ini di mana si Hasyim sangat merasa hancur hatinya ketika melihat rumah kawannya si Matius rusak total dihancurkan oleh sekelompok orang yang bersumbu pendek dengan alasan sederhana hanya karena dia Kristen. Sebegitu salahkah agama lain selain yang mayoritas sehingga dengan semena-mena tanpa belas kasih membantai sesame? Bukankah agama itu penuh dengan belas kasih dan rahmatallil’alamin? Lalu kenapa kali ini tidak?

Nilai toleransi yang disuguhkan dalam novel Ical ini, mengingatkan saya dengan Ayu Utami penulis kece yang menjadi favorit saya pada wawancara tentang novelnya yang berjudul “Bilangan Fu”. Ayu Utami mengatakan bahwa kalau di zaman orde baru kekerasan dilakukan oleh militer atas nama politik dan kepentingan nasional, namun di zaman reformasi yang mengagung-agungkan demokrasi saat ini kekerasan justru dilakukan atas nama agama. Miris memang.

Selain itu semangat gerakan literasi juga tidak kalah sering disuguhkan dalam novel ini, dari bagian satu hingga ke bagian tiga. Penulis juga dengan cerdas menampilkan proses mmengajar menulis ke lima anak yang dijuluki power ranger. Seolah menyampaikan makna ke penikmat novel ini bahwa membaca bukan awal sekaligus akhir, tapi pintu pertama dari proses selanjutnya yaitu menulis karna goals dari membaca adalah mengasilkan karya dalam bentuk tulisandan Ical sudah membuktikan dengan lahirnya karyanya ini.

Pada tokoh Fajar semangat menulis semakin diperlihatkan. Fajar sosok pemuda sederhana yang memiliki  simpati dan empati besar terhadap gerakan-gerakan sosial terutama untuk anak-anak yang putus sekolah pun ternyata sudah menghasilkan banyak karya. Ical juga menyampaikan pesan moral bahwa hal yang terpenting dalam menulis adalah menemukan dan memiliki sumber inspirasi dalam menulis agar ide-ide tidak pernah kering. Seperti Fajar, Ulya adalah muse nya.

Pesan lain dalam bagian  ini juga adalah tentang pentingnya berkomunitas, mengasah rasa kepedulian terhadap sesama minimal dengan hal-hal dan orang-orang disekitar kita. Juga pentingnya berbagi dan berbuat yang bermanfaat untuk sekitar. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Kepedulian, dan tolong menolong kembali diperkuat dan dipertegas pada sosok Bayu dan Sastri. Bahwa sekeras apapun hidup ini, segetir dan sepahit pengalaman yang dialami tetaplah menjadi orang baik, menebarkan kebaikan, dan pasti akan mendapatkan hal-hal yang baik dikemudian hari.

Novel karya Ical ini meski menyuguhkan tiga cerita yang berbeda, namun mengikat satu ruh yang sama yaitu komunitas dan gerakan literasi. Karakter yang disuguhkan juga kaya dan variatif, latarnya banyak dan detail. Penuh dengan moral of story dan memorable of quotes. Salah satu quotes dalam novel ini yang paling kuat diingatan adalah ”mimpi yang tinggi cuma butuh kesabaran, kesabaran yang tidak pernah sekedar cuma

Kami menunggu karya selanjutnya dengan suguhan tambahan plot twist yang membikin jantung kami para pembaca tambah deg-deg seerrrr.


Penulis                 : A.S Rosyid
Penerbit              : Basa Basi
Dimensi                : 200 halaman; 14 x 20 cm
Cetakan pertama: September 2017


*****

*Rohani Inta Dewi. Pegiat Komunitas Literasi, Bale Bace Khatulistiwa Kota Mataram NTB.

Kisah-Kisah Sederhana yang Abadi

*Dedy Ahmad Hermansyah







Cerita besar karya para penulis besar senantiasa berkisah tentang hal-hal sederhana. Barangkali kita menganggapnya remeh, namun abadi. Kisah-kisah itu seperti tak mati-mati, meski hanya berupa gambaran hidup pada waktu tertentu di masa lalu. Kita seolah merasa kisah-kisah itu terjadi baru-baru saja, tak jauh dari lingkungan kita. Meski ada kisah yang membawa kita pada tanah asing, budaya yang asing, tapi arusnya mampu menyeret kita ke dalam pusarannya. Merasakan liukan spiral alirannya. Kita tenggelam, sekaligus menyelam.
Begitulah kesan yang kudapatkan seusai membaca sembilan buku kumpulan cerpen (kumcer) dari sembilan penulis besar: Honore de Balzac (Gairah di Gurun); Guy de Maupassant (Kalung); Leo Tolstoy (Tiga Pertapa); Fyodor Dostoevsky (Maling yang Jujur); John Walsgorthy (Pertemuan); Rudyard Kipling (Angkong Hantu); Rabindranath Tagore (Tetanggaku yang Cantik); James Joyce (Ibunda); dan Bret Harte (Gadis Lugu dari Sierra).
Sembilan buku kumcer tersebut adalah satu paket Seri Fiksi Ilmiah yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa dan Jembar (enam buku dari penerbit Nuansa, tiga buku dari penerbit Jembar). Buku-buku itu tidak tebal, tak ada yang lebih dari seratus halaman. Malahan enam di antara buku itu berukuran kecil, serupa buku saku. Cerpen-cerpen yang dipilih pun tidak banyak untuk masing-masing penulis. Mulai dari dua sampai empat cerpen. Cerpen-cerpen yang diterjemahkan diupayakan yang menjadi masterpiece masing-masing penulis.

Sabtu, 07 Oktober 2017

Apa Guna Itu Sastra

*Rina Yulianti





Foto (juga tulisan) diambil dari http://rinayulianty.blogspot.co.id/2016/06/apa-guna-itu-sastra.html. Terima kasih kepada penulisnya atas izin memuatnya di blog Komunitas Teman Baca



“Apa manfaat praktis yang bisa saya dapatkan dari belajar sastra?”

Itu adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu kawan yang bersama saya dan beberapa teman lainnya membuat kelompok belajar sastra di Sumbawa. Meski ia mengikuti kelompok ini dengan sukarela, ia sendiri bukanlah penggemar sastra. Ia hanya merasa ingin menulis. Itu saja. Maka ia pun bergabung. Tidak ada tutor atau sebutlah satu saja penulis ataupun sastrawan mumpuni dalam kelompok ini. Tapi karena sayalah yang berinisiatif memulainya, saya merasa sayalah yang bertanggungjawab menjawabnya.

Mari lewati saja jawaban saya saat itu. Kali ini saya ingin mengajak pembaca semua memikirkan ini bersama-sama. Apa manfaat praktis yang bisa kita dapatkan dari belajar atau membaca sastra? Pertama, saya pikir akan ada yang nyinyir beranggapan bahwa si penanya adalah manusia yang selalu melihat segala hal dari kebermanfaatan pada dirinya. Tapi, ayolah, kejujuran pertanyaan tersebut justru adalah cerminan masyarakat kita sekarang. Akan menyusul banyak orang lain lagi yang akan menanyakan ini atau paling tidak, menyimpannya dalam hati. Maka tidak ada gunanya menghindari pertanyaan ini sekarang.

Rabu, 04 Oktober 2017

Kekuatan Cinta dalam 'Rumah Tangga yang Bahagia'

*Dedy Ahmad Hermansyah




Mungkin salah satu sebab orang berbeda dalam memaknai cinta adalah umur. Usia tua berbeda dengan usia muda dalam memahami cinta. Nah, bayangkan jika sepasang suami-istri berbeda jauh dalam usia dan mengalami masalah dalam percintaan mereka. Bayangkan pula bagaimana mereka menyelesaikannya, dan bagaimana mereka pada akhirnya menemukan makna cinta bersama. Tema inilah yang disajikan Leo Tolstoy, pengarang besar Rusia, dalam novel kecilnya ‘Rumah Tangga yang Bahagia’.

Pasangan berbeda umur itu adalah Masha atau Marya Alexandrovna dan Sergei Michailich. Masha berumur 17 tahun, Sergei 36 tahun. Masha baru saja berduka atas meningalnya ibunya—ayahnya telah meninggal sebelumnya. Yang tersisa bersamanya adalah Katya yang mengasuhnya sejak kecil dan Sonya, adiknya. Sergei adalah sahabat ayahnya Masha, yang mengatur segala urusan keluarga Masha setelah ayahnya meninggal.

Minggu, 01 Oktober 2017

Sastra NTB, Menggeliat Bersama Komunitas

*Muh. Ardian Kurniawan


Ritual menghalau kemarau panjang di Dusun Ende Dusun Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. (fotografer: Lamuh Syamsuar)




Bagi mereka yang akrab dengan gemuruh sastra Indonesia—sering kali yang menjadi acuan adalah sastra di media massa—hampir saban minggu akan mendapati ada satu atau lebih penulis/sastrawan asal NTB yang mengisi halaman-halaman di rubrik-rubrik sastra media massa lokal dan nasional. Nama-nama seperti Irma Agryanti, Tjak S. Parlan, Kiki Sulistyo, Budi Affandi, Muh. Baihaqi Alkawy, Fatih Kudus Jaelani, Lamuh Syamsuar, Gustu Sasih, Iwan Safwan, Iin Farliani, Bayu Pratama, atau Arianto Adipurwoko (dan banyak lagi yang tidak muat untuk disebut satu per satu) acap kali hadir di koran edisi hari Sabtu atau Minggu dalam satu dekade terakhir. Jika mencari garis hubung, dikenalnya nama-nama ini di redaktur sastra media massa dan masyarakat pembaca karya sastra tidaklah lepas dari keberadaan komunitas sastra yang juga merebak sejak belasan tahun yang lalu di NTB. Mulai dari Komunitas Akarpohon di Mataram, Komunitas Rabu Langit di Lombok Timur, kemudian diiringi dengan sejumlah komunitas baru yang berdiri secara sporadis hingga sekarang muncul pula Komunitas Kembangkomak dan Klasika di Lombok Tengah. Secara perlahan, komunitas-komunitas ini berhasil menaikkan kembali antusiasme masyarakat terhadap karya sastra. Dan, tentu saja, ini dilakukan jauh sebelum Gerakan Literasi Sekolah digagas oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan!

Sesungguhnya, komunitas sastra bukanlah hal yang baru dalam jagat sastra Indonesia. Di masa awal perkembangan sastra modern, sastrawan dan seniman/budayawan sudah sering membuat kelompok-kelompok kerja kreatif masing-masing. Sebut saja Pujangga Baru, Seniman Gelanggang, dan Manifes Kebudayaan yang cukup fenomenal dalam dinamika perkembangan kesusastraan Indonesia. Dari komunitas-komunitas inilah lahir para sastrawan Indonesia yang kemudian sohor mendunia. Lantas, seperti efek domino, bertaburan pula komunitas-komunitas sastra lain di daerah hingga kini. Penggagasnya adalah mereka yang memiliki keseriusan di bidang ini, bisa saja sesama penulis maupun melibatkan akademisi yang turut gelisah dengan kondisi kesusastraan di tempat mereka.

Sabtu, 30 September 2017

Cinta Semasa Salju

*Dedy Ahmad Hermansyah




Cerita novel ini sangat sederhana: seorang pria bernama Shimamora bertemu seorang gadis geisha muda, Komako, setelah perjalanannya naik gunung. Diam-diam Komako jatuh cinta kepadanya. Begitu pun sebaliknya. Tapi cinta mereka terhalang oleh berbagai aral. Geisha, sebagai seorang perempuan sekaligus seniman, yang bertugas melayani tamu di berbagai perjamuan, menari, bernyanyi dan bermain shamisen, terikat kontrak sebagai geisha selama beberapa tahun, dan sebagaimana lazim diketahui, menjadi geisha adalah menjadi orang yang ditakdirkan untuk tidak boleh memiliki perasaan cinta atau jalinan asmara dengan laki-laki. Di pihak lain, Shimamora, laki-laki yang menyebut dirinya pengangguran hanya sekali-kali menulis artikel tentang seni serta hidup dengan warisan orang-tuanya, adalah pria yang sudah beristri dan punya beberapa anak.

Halangan cinta mereka digambarkan dengan lambat, namun lembut. Kita diseret ke dalam pusat batin Komako dan Shimamora. Komako, barangkali adalah perempuan yang cerewet. Tapi ia sangat cerdas menyembunyikan perasaannya. Jika pun harus dikatakan, ia harus melewati jalan panjang untuk sampai ke maksud yang ingin ia sampaikan. Shimamora, barangkali adalah laki-laki yang blak-blakan. Kekagumannya kepada Komako tidak langsung terbit pada pertemuan pertama. Kecerewetan Komako, kisah kehidupannya sendiri (Komako senang menulis catatan harian, tapi ingin segera membakarnya), dan kemahirannya memetik shamisen yang tak disangka-sangka oleh Shimamora, semua menggumpal menjadi satu perasaan aneh yang kemudian ia pastikan sebagai cinta yang jatuh.

Cerita berpusat kepada mereka yang saling jatuh cinta. Memang ada dua tokoh lain yang ikut bermain—Yoko dan Yukio. Yoko adalah perempuan belasan tahun yang tinggal bersamanya. Sedangkan Yukio adalah laki-laki yang dirawat oleh Komako atas alasan ia berhutang budi kepada ibu Yukio yang pernah menjaganya. Shimamoro mendapat informasi, Yukio adalah tunangan Komako. Tapi Komako membantah. Dua tokoh tadi tak terlalu punya peran signifikan terhadap alur cerita. Yukio segera meninggal setelah sakitnya sudah sangat parah. Dan Yoko juga meninggal tepat di akhir novel setelah jatuh dari satu bangunan yang terbakar.

Jangan terlalu berharap mencari kejutan-kejutan berupa pengungkapan satu masalah atau konflik di dalam novel ini. Menurut saya, keindahan novel ini terletak pada penggambaran yang detail tentang jantung kebudayaan Jepang, perubahan-perubahan dalam dunia geisha (bahkan ‘geisha’ sendiri sudah menjadi satu hal menarik dalam novel ini), serta ungkapan-ungkapan perasaan yang begitu bermakna dan syarat perenungan. Jika ibarat berenang, novel ini menyelam ke palung paling dalam, bukan menuju ke jarak samudera paling jauh.

Kamis, 28 September 2017

Berkunjung ke 'Negara Kecil' Bung Pram

*Dedy Ahmad Hermansyah






--sebuah wawancara imajiner--




Perjalanan ini semakin mendekatkanku padamu. Bung, aku datang membawa setumpuk kerinduan, juga pertanyaan-pertanyaan yang barangkali sudah sering kau dengar dari para peneliti, wartawan, anak-anak muda yang mendatangi rumahmu. Barangkali Bung sudah menyiapkan sekian jawaban yang sama untuk pertanyaan yang itu-itu juga. Melulu perihal luka-lukamu di masa lalu, cita-citamu yang membiru, dan segenap harapanmu untuk generasi muda yang semakin kukuh.

Bung, lima belas menit lagi aku tiba di hadapan pagar rumahmu. Rumahmu telah lama bermukim di kepalaku. Foto-foto dan video yang banyak tersebar di dunia maya-lah yang membangunnya. Tiga tingkat kan? Menjulang berwarna biru langit, kokoh—persis seperti gambaran dirimu di dalam otakku.

Rumah itu, barangkali bukanlah rumah yang benar-benar kau impikan. Ia hanya satu usaha pembuktian kepada mereka yang meremehkanmu—Bung bisa bangkit dan membangun rumah meski berpuluh tahun menderita.

Ah, Bung, aku jadi teringat dengan penjelasan seorang sejarawan muda tentang rumah dalam kehidupanmu. Ia katakan, Bung sedari kecil telah memimpikan rumah dalam dua pengertian: ruang dan fisik (home dan house). Sialnya, Bung terseok-seok membangunnya. Sepanjang umurmu, rumah dalam dua pengertian ini kacau balau, dihantam badai, dihancurkan oleh orang-orang yang tak punya jiwa peradaban tinggi.

Bung lahir di Blora, tapi kemudian pindah ke Jakarta. Bung punya ingatan yang memilukan saat mengenang Ayah dan Ibu Bung. Bung ditempa oleh kerasnya kehidupan di masa kecil, dipertajam untuk cinta kepada keadilan. Rumah masa lalu itu begitu buram dan muram.

Bung menulis, berfikir, bercita-cita tentang Indonesia yang semestinya. Tak berhenti di situ, cita-cita itu Bung perjuangkan. Dalam usaha perjuangan itu, musuh-musuh berdiri garang di hadapan Bung. Dengan kesadaran dan atas nama kewajiban nasional, Bung terus bergerak maju.

Hingga satu peristiwa paling memilukan terjadi di tanah air Indonesia ini. Itu pada tahun 1965. Seluruh bangunan rumah dalam dua pengertian itu hancur perlahan-lahan. Puing-puingnya menjadi luka yang terus Bung bawa ke tempat pengasingan Bung. Rumah yang Bung bangun dirampas tentara. Istri dan anak-anak Bung terlantar mencari rumah—rumah tempat berteduh dan rumah yang adalah Bung sebagai bagiannya.

Matahari sebentar lagi pulang. Aku sudah mendekati rumah Bung. Kepala terasa berat. Ada yang hendak meledak di sana. Barangkali sejenis kegembiraan yang berlebihan! Ah, akankah senyum dengan tawa kecilmu Bung yang akan diberikan kepadaku? Semoga saja!

Aku tiba Bung. Aku sudah membayar taxi. Barang-barangku—tas hitam besar dengan sebungkus plastik berisi hadiah kecil—sudah kuturunkan. Iya, alamatnya benar: Jl. Warung Ulan No. 9 Bojonggede, Bogor. Begitu yang tertera di plang yang melekat di tembok pagar rumah Bung. Nah, sekarang seorang perempuan tua berkaca mata mendatangi pagar. Senyumnya ia pasang. Ia membuka pintu pagar:

Iman, Imam dan Umat

*Maia Rahmayati




Berkesempatan mengantar rombongan yang hendak memulai salah satu program penting dalam bidang desain tata ruang. Salah seorang diantara mereka adalah Bule asal Selandia Baru, yang menjadi konsultan spesialisnya. Kurang dari Empat jam saat berada di Kota Praya. Ia tak hentinya mengagumi keindahan kubah Masjid Agung yang berada tepat di tengah kota. Pun dengan ungkapan kekagumannya pada keberadaan Islamic Center di Kota Mataram. “Dari atas pesawat saya melihat Lombok ini seperti miniatur yang  indah” ucapnya.

Secara umum Ia terpukau pada bangunan masjid yang disaksikannya. Pada beberapa tempat di Indonesia yang ia kunjungi. Pulau Lombok,  menurutnya adalah termasuk yang unik dan sangat menarik. Lantas  ia membandingkan kondisi tersebut dengan kota-kota di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang pernah Ia kunjungi, seperti di Iraq, Iran, Palestina. Menurutnya, kubah-kubah Masjid di Lombok, jauh lebih baik secara desain, pilihan  warna dan detail arsitekturnya. Saat itu, saya hanya senyum-senyum. Semacam ada rasa bangga mendengar rangkaian ceritanya.

Selasa, 26 September 2017

Sejumlah Kebaikan Perempuan-Perempuan Kalah

*Dedy Ahmad Hermansyah. 

Diskusi pada peluncuran buku 'Kebaikan Istri', Minggu 06 Agustus 2017, di Hotel Paradiso


Pertama kali disodorkan buku Kumpulan Cerpen Kebaikan Istri yang ditulis oleh Budi Afandi, saya langsung membolak-balik halaman dan membaca judul-judul cerpen di dalamnya. Ada 15 Cerpen. Dua judul ada menyebutkan kata ‘Perempuan’, tiga judul menyimpan nama perempuan (Maemunah, Siti Salemah, dan Aya), dua judul lagi menggunakan kata yang merepresentasikan perempuan (Ibu, dan Istri), satu judul yang berupa persis satu kata yang identic dengan perempuan (Ngidam), tiga judul memuat kata yang barangkali juga dekat dengan dunia perempuan (Penunggu, rumah, dan lukisan), dan sisanya terselip kata yang identic dengan laki-laki (Detu Tuan, Lelaki dan Kantong Plastik Hitam, Jalan Kecil Menuju Pelabuhan).

Tak bisa saya elakkan, kesan itulah yang kemudian menuntun saya untuk mencari tahu: sejauh mana cerita-cerita tersebut menegetengahkan persoalan perempuan, latar atau konteks social seperti apa yang dihadapi oleh perempuan-perempuan dalam cerita-cerita dalam buku ini, bagaimana perempuan menghadapi masalah tersebut, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan teknis seperti menyangkut bahasa, estetika, teks, tata bahasa, efek rasa, menyusul kemudian.

Sebelum saya lanjutkan, perlu dicatat: saya bukanlah orang yang mampu menulis kritik sastra (ini kerja yang besar dan agung yang berat saya lakukan), mampu menganalisa cerita dengan metode-metode sastra tertentu, atau membedah dengan sangat detail sebagaimana halnya ahli linguistic. Anggap saja ini hasil pembacaan sekilas pegandrung sastra, khususnya cerita pendek, yang amatir yang kesannya akan lebih terasa subyektif alih-alih obyektif.

Senin, 25 September 2017

Tukang Pos yang Mencintai Pekerjaannya

*Maia Rahmayati

1478916035421-156584543




“Tak ada perjalanan yang lebih menyenangkan selain perjalanan yang benar-benar dinikmati”. Pada kata “perjalanan” kita boleh juga menggantinya dengan kata “pekerjaan”. Sebab, untuk sebagian besar orang ada yang memilih profesi pekerjaannya ya sambil jalan-jalan, atau sebaliknya.. “jalan-jalan sambil kerja”. Tidak perlu membandingkan keduanya, sebab setiap orang memiliki pengalaman berbeda, dan sekali lagi.. perbedaan penting ada untuk dirayakan, disyukuri.

Kedua buku ini secara umum, saya melihatnya begitu, dari kisah latar perjalanan seorang “tukang pos” yang sehari-hari mengantarkan surat-surat menggunakan sepeda merah.

Kim Dong Hwa dalam Sepeda Merah Yahwari #1 menuliskan prolog “Menjadi Penulis itu mirip dengan menjadi tukang pos……” kalimat ini penting untuk memahami alur cerita, pesan, teks dan konteks pengalaman si Tukang Pos bersama Sepeda Merah.
Ia menyatakan “kemiripan” itu sebagai gambaran pengalaman dalam perjalanan; menyusuri desa-desa, bertemu orang-orang dengan berbagai latar pekerjaan, pendidikan, ekonomi, serta membuat catatan-catatan simpulan dari “gejala” yang disajikan dalam realitas sosial tersebut.