*Rohani Inta Dewi
Ini adalah novel karya A.S Rosyid—atau yang lebih familiar saya sapa Ical. Dengan penuh kejujuran saya katakan, saya baru tahu nama asli Ical setelah membaca novelnya (teman macam apa aku ya, hehe). Novel Gerimis di Atas Kertas ini menyuguhkan hal-hal dengan segar. Membuat semuanya terasa dekat dengan kita, terutama bagi teman-teman penggiat literasi Lombok khususnya, dan NTB pada umumnya.
Ini adalah novel karya A.S Rosyid—atau yang lebih familiar saya sapa Ical. Dengan penuh kejujuran saya katakan, saya baru tahu nama asli Ical setelah membaca novelnya (teman macam apa aku ya, hehe). Novel Gerimis di Atas Kertas ini menyuguhkan hal-hal dengan segar. Membuat semuanya terasa dekat dengan kita, terutama bagi teman-teman penggiat literasi Lombok khususnya, dan NTB pada umumnya.
Membaca novel Ical ini, saya merasa diajak flashback dengan
gerakan-gerakan literasi yang telah dan sedang dilakukan oleh pemuda-pemuda
penggiat literasi, yang mayoritas inisiatornya lulusan luar lombok dan NTB
(tentu tidak semuanya). Seperti Teman Baca insiatornya dari alumni Makassar,
Buku Ini Aku Pinjam alumni Jogja, Bale Bace Khatulistiwa alumni Malang dan
Jogja, Club Baca Perempuan alumni Jogja, dan KCB inisiatornya ya sang penulis
novel yang sedang saya resensi ini dan sekarang sedang melanjutkan studi
masternya di kota apel Malang. Konon katanya komunitas ini bermetamorfosa
menjadi Djendela.co.
Serta gerakan-gerakan literasi lainnya yang sangat menjamur, tumbuh, dan
berkembang pesat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Di bagian novel yang membahas kedai kupi, secara langsung penulis menyebutkan kedai araq-araq doank. Di situ saya merasa senang dan sedih, senang karena tanpa kami sadari menjadi sekilas inspirasi dari sang penulis. Sedihnya bahwa kedai araq-araq doank ini yang lebih konsisten menyuguhkan buku-buku untuk dibaca daripada menu-menu untuk disantap sekarang sudah tinggal nama dan tak beroperasi lagi karena suatu hal yang hanya kami dan Tuhan yang mengetahuinya.
Selain menyuguhkan kisah cinta Royyan ke Hasyim, Hasyim ke Ayu secara dewasa di mana cinta tak harus memiliki terpatri dari rasa cinta Royyan untuk Hasyim, serta cinta membutuhkan kesabaran terpancar dari cinta Hasyim ke Ayu yang pada akhirnya bersatu.
Ical juga menonjolkan nilai toleransi di dalam novel ini di mana si Hasyim sangat merasa hancur hatinya ketika melihat rumah kawannya si Matius rusak total dihancurkan oleh sekelompok orang yang bersumbu pendek dengan alasan sederhana hanya karena dia Kristen. Sebegitu salahkah agama lain selain yang mayoritas sehingga dengan semena-mena tanpa belas kasih membantai sesame? Bukankah agama itu penuh dengan belas kasih dan rahmatallil’alamin? Lalu kenapa kali ini tidak?
Nilai toleransi yang disuguhkan dalam novel
Ical ini, mengingatkan saya dengan Ayu Utami penulis kece yang menjadi favorit
saya pada wawancara tentang novelnya yang berjudul “Bilangan Fu”. Ayu Utami
mengatakan bahwa kalau di zaman orde baru kekerasan dilakukan oleh militer atas
nama politik dan kepentingan nasional, namun di zaman reformasi yang
mengagung-agungkan demokrasi saat ini kekerasan justru dilakukan atas nama
agama. Miris memang.
Selain itu semangat gerakan literasi juga tidak
kalah sering disuguhkan dalam novel ini, dari bagian satu hingga ke bagian
tiga. Penulis juga dengan cerdas menampilkan proses mmengajar menulis ke lima
anak yang dijuluki power ranger. Seolah menyampaikan makna ke
penikmat novel ini bahwa membaca bukan awal sekaligus akhir, tapi pintu pertama
dari proses selanjutnya yaitu menulis karna goals dari membaca adalah
mengasilkan karya dalam bentuk tulisan, dan Ical sudah membuktikan
dengan lahirnya karyanya ini.
Pada tokoh Fajar semangat menulis semakin
diperlihatkan. Fajar sosok pemuda sederhana yang memiliki simpati dan
empati besar terhadap gerakan-gerakan sosial terutama untuk anak-anak yang
putus sekolah pun ternyata sudah menghasilkan banyak karya. Ical juga
menyampaikan pesan moral bahwa hal yang terpenting dalam menulis adalah
menemukan dan memiliki sumber inspirasi dalam menulis agar ide-ide tidak pernah
kering. Seperti Fajar, Ulya adalah muse nya.
Pesan lain dalam bagian ini juga adalah
tentang pentingnya berkomunitas, mengasah rasa kepedulian terhadap sesama
minimal dengan hal-hal dan orang-orang disekitar kita. Juga pentingnya berbagi
dan berbuat yang bermanfaat untuk sekitar. Bukankah sebaik-baiknya manusia
adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Kepedulian, dan tolong menolong kembali
diperkuat dan dipertegas pada sosok Bayu dan Sastri. Bahwa sekeras apapun hidup
ini, segetir dan sepahit pengalaman yang dialami tetaplah menjadi orang baik,
menebarkan kebaikan, dan pasti akan mendapatkan hal-hal yang baik dikemudian
hari.
Novel karya Ical ini meski menyuguhkan tiga
cerita yang berbeda, namun mengikat satu ruh yang sama yaitu komunitas dan gerakan
literasi. Karakter yang disuguhkan juga kaya dan variatif, latarnya banyak dan
detail. Penuh dengan moral of story dan memorable of quotes. Salah satu quotes dalam
novel ini yang paling kuat diingatan adalah ”mimpi yang tinggi cuma butuh kesabaran,
kesabaran yang tidak pernah sekedar cuma”.
Kami menunggu karya selanjutnya dengan suguhan
tambahan plot
twist yang membikin jantung kami para pembaca tambah deg-deg
seerrrr.
Penulis
: A.S Rosyid
Penerbit
: Basa Basi
Dimensi
: 200 halaman; 14 x 20 cm
Cetakan pertama: September 2017*****
*Rohani Inta Dewi. Pegiat Komunitas Literasi, Bale Bace Khatulistiwa Kota Mataram NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar