Minggu, 15 Oktober 2017

Cerita-Cerita Lain di Balik Gerimis

*A.S. Rosyid




[disajikan dalam acara bedah buku “Gerimis di Atas Kertas”, di Kota Mataram, 10 Oktober 2017]

*****


1.
Salam kenal, nama saya Ical. Saya penulis buku “Gerimis di Atas Kertas”. Saya pengajar di Madrasah Alam Sayang Ibu sebagai guru literasi, dan menjadi pustakawan di Komunitas Djendela (dulu bernama KCB-Mataram). Tapi keduanya tidak lagi saya lakukan karena saat ini saya meneruskan studi Filsafat dan Pemikiran Islam di Kota Malang.

Saya bukan penggemar buku-buku sastra (dalam pengertian tertentu). Selama ini saya hanya menikmati bacaan yang punya daya gebrak atas pemahaman-pemahaman mapan (established). Buku-buku filsafat, pemikiran sosial, dan gagasan kiri termasuk di antaranya. Namun dalam fiksi, saya lebih menggemari karya populer. Andrea Hirata atau Tere Liye adalah salah dua yang karyanya selalu saya beli.

Bacaan yang lebih berat, paling hanya berkutat pada novel, cerita pendek, atau puisi-puisinya Kuntowijoyo, novel-novel karya Romo Mangunwijaya, cerpen-cerpen Putu Wijaya, atau puisi-puisi Joko Pinurbo, Gus Mus, dan Rendra—sekitar itulah. Mereka yang menulis dengan kata-kata yang tidak terlalu bikin pusing. Saya membaca karya mereka pun bukan sebagai penikmat sastra. Saya membaca karena ada sesuatu yang menggedor-gedor dinding hati saya: semangat pemihakan, perlawanan, dan pembebasan.


2.

Selama ini saya menulis—termasuk, menulis buku Gerimis di Atas Kertas—tidak dengan memaksudkannya sebagai genre anu atau anu. Saya menulis karena menulis itu sendiri. Selama ini saya menerbitkan buku hanya lewat self-publishing, sekedarnya, yang penting naskah mewujud menjadi buku.

Sementara esai, jurnal, dan diari saya terbitkan di blog. Hanya naskah cerita yang saya terbitkan jadi buku, yang panjangnya kisaran 3 – 35 halaman. Saya tidak tahu macam jenis tulisan. Tendensi saya cuma 1, yaitu menulis cerita. Cerita yang, saya berusaha, alurnya penuh kejutan dan sarat makna. Cerita yang disukai banyak kalangan, bahkan bagi mereka yang tidak terbiasa mengunyah menara gading pengetahuan.

Buat saya, bacaan-bacaan ‘berat’ cuma bahan bakar. Ia harus diejawantahkan menjadi tulisan yang bisa dikonsumsi siapa saja. Tujuan menulis pun buat saya sederhana: mengenalkan dan mengajak orang lain menekuri ‘semestinya kehidupan’ menurut kita—dan ‘semestinya kehidupan’ menurut saya adalah “kehidupan yang memihak dan terus bergerak membangun”. Dalam bahasa Kuntowijoyo, aktif membangun sejarah.


3.

Dengan pemikiran kecil itu, saya menulis 3 cerita dalam Gerimis di Atas Kertas.

Selama ini buku/bacaan saling berseliweran dan bertarung satu sama lain, berusaha memenangi hati masyarakat. Sementara dalam penglihatan pendek saya, gagasan pemihakan masih kalah. Bahkan meski geliat pergerakan komunitas di kalangan mahasiswa dan pemuda saat ini sudah cukup marak, tetap saja terhitung sedikit bila dibanding keseluruhan.

Gerimis di Atas Kertas ditulis bermula dari ucapan kawan di media sosial, yang berharap maraknya bacaan yang mampu memengaruhi pergerakan anak muda. Supaya tidak pandai berdiskusi saja. Saya tergerak menulis tulisan semacam itu. Saya konsentrasi menggarap naskah, dan akhirnya selesai dalam dua bulan. Cukup lama. Saya berusaha tidak menjadikan kesibukan sebagai excuse menelantarkan naskah. Tidak masalah naskah selesainya lama, tapi sibuknya kita beralasan ini-itu, kan, hanya kita yang bisa jujur.

Sebelumnya saya berpikir, fiksi itu cukuplah imajinasi. Tapi sejak membaca seksama karya-karya Andrea Hirata, saya menyadari fiksi yang baik dibangun di atas riset. Andrea Hirata mengerjakan novel-novelnya hanya dalam kisaran 2 – 3 minggu saja, tapi risetnya selalu sepanjang 2 – 4 tahun.

Maka saya berusaha menulis fiksi dengan riset. Terutama cerita ketiga, tentang Kota Tua Ampenan dan Cakwe. Saya harus sering-sering mendatangi Ampenan dan menghirup udara kotanya seakan saya baru pertama kali ke sana. Memandang semuanya dengan cara yang baru. Bahkan untuk menentukan rumah-rumah tokoh, saya mengendap-endap di antara rumah warga, melihat-lihat, memilih satu dua rumah, mencatat nomer rumahnya dan gangnya, mendeskripsikan isi gang tersebut, dan lain-lain. Sisanya, fiksi.

Sejarahnya saya baca ulang dari berbagai referensi di Internet, dan saya sempat mengunjungi Perpustakaan Kota Mataram di dekat Islamic Center. Terkait cakwe pun begitu: saya membaca referensi kecil mengenai cakwe, melihat proses membuat cakwe di youtube, dan membeli cakwe sembari melihat langsung cara membuat cakwe dari mereka. Tak lupa saya berkawan dan berguru pada seorang bapak penjual cakwe di jalan Adi Sucipto.

Dari kebersahajaan bapak penjual cakwe itu, saya menggambarkan tokoh Muhammad Julu. Sementara tokoh utamanya, ‘kamu’ (ya, saya menulis dengan sudut pandang ‘kamu’), inspirasinya berasal dari mantan wartawan foto Natgeo yang bosan dan memutuskan menetap di Lombok. Saya belajar sesuatu darinya, dan saya wujudkan lewat tokoh ‘kamu’, yaitu tentang mengetahui kapan harus berhenti mengejar sesuatu yang semu. Sejujurnya, saya cukup kewalahan menulis cerita dengan sudut pandang ‘kamu’, karena tidak terbiasa.

Yang terasa gampang-gampang-susah adalah cerita pertama: saya harus menggali ingatan saya sendiri tentang apa yang terjadi di tengah kerusuhan 97 – 98. Juga untuk menggambarkan sosok Ayu, yang notabene nyata adanya, sebagai sahabat masa kecil saya yang hilang tanpa kabar sejak kerusuhan itu. Gampang-gampang-susah lain, mungkin, bagaimana menulis bahasa Indonesia dialek Sasak, supaya bila dibaca orang Sasak mereka akan tertawa, dan bila dibaca orang luar mereka akan tersenyum dan tahu bagaimana orang Sasak berbicara.



4.

Tiga cerita dalam buku Gerimis di Atas Kertas, semuanya bicara tentang anak muda, dan apa yang bisa mereka lakukan untuk mengisi kerja-kerja sejarah.

Cerita pertama, bertutur tentang Salim dan rumah bacanya di pesisir Ampenan. Bertutur pula tentang hubungan khasnya dengan kelima muridnya yang unik dan lucu, dan kenangan masa kecilnya tentang tragedi 98, yang membuatnya harus kehilangan sahabat kecilnya. Salim memutar kembali kenangan pahit masa lalu dan mengemasnya dengan kepolosan masa kecil.

Cerita kedua, berkisah tentang Tata, perempuan yang baru menyelesaikan studi di tanah rantau, dan terpana dengan tetangga barunya di Mataram, yaitu Kak Fajar. Kak Fajar mengelola sebuah ‘rumah perubahan’ yang memberdayakan anak-anak muda lewat banyak kegiatan kreatif. Keinginan kuat Tata belajar menulis pada Kak Fajar berakhir dalam jalinan asmara, yang sedikit pelik. Cerita kedua berkisah tentang pelajaran menulis, gerakan anak muda, dan cinta yang tidak kekanak-kanakan.

Sementara cerita ketiga, bercakap tentang ‘kamu’ yang bernama Bayu, mantan wartawan foto yang jenuh dengan pekerjaan yang membuatmu merasa terasing dengan duniamu sendiri. Dengan eksistensi yang sedang terhantam, ‘kamu’ memutuskan pergi ke Lombok, dan tinggal di rumah kawanmu di Kota Ampenan. Di sanalah ‘kamu’ berkenalan dengan cakwe, Sastri si perempuan bersahaja, sejarah Kota Tua Ampenan, dan warna-warna baru dalam hidupmu.

5.
Buat saya, kita harus ‘merebut’ ruang muda era kekinian, mengisinya dengan gagasan penting yang tidak boleh hilang dari kesadaran mereka, tapi dengan gaya yang mereka sukai. Tentu, tanpa mengurangi perenungan-penting penting.


Saya tidak tahu apakah Gerimis di Atas Kertas adalah buku dengan cerita-cerita berkualitas atau tidak. Pembaca yang menilainya, dari sudut pandang mana saja yang mereka suka. Tapi saya berharap, cerita-cerita di dalamnya adalah cerita-cerita baik yang mengajak pada hal-hal baik. Buku yang pas sebagai kado bagi orang-orang yang kita sayang, yang kita ingin mereka berproses di lingkungan yang baik. []


****

*A.S. Rosyid aka Ical. Pustakawan di Komunitas Djendela (dulu bernama KCB (Komunitas Cinta Baca--Mataram). Saat ini dia meneruskan studi Filsafat dan Pemikiran Islam di Kota Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar