Sabtu, 28 Oktober 2017

Kopi dan Kreativitas yang Tak Mati-mati

*Dedy Ahmad Hermansyah




Seperti perjalanan hidup ini, kopi juga kerap disalahpahami dan selalu menyimpan misteri. Orang-orang mengutuk, memuja dan mencari kebijaksanaan dalam kehidupan—begitu pula perlakuan dalam perkopian. Ada yang memimpikan hidup yang bersahaja, tidak muluk-muluk, namun ada juga yang mencari tantangan di dalamnya—kopi juga, para pecintanya menikmati kebersahajaannya, memburu kebaruannya, dan menantang diri untuk rasa dan sensasi yang belum ditemukannya.
Kopi yang tak dikaji adalah kopi yang tak layak dinikmati. Demikian para filsuf kopi bernubuat. Dan dalam perjalanan ‘pengkajian’-nya, kopi kaya dengan kisah-kisah unik dan tak jarang menginspirasi.
Di Inggris, kopi baru terkenal di tahun 1600-an. Namun, 50 tahun sebelum itu, seorang ilmuwan penting yang penemuannya tentang sirkulasi darah dalam tubuh manusia menjadi referensi banyak ilmuwan lainnya, Harvey, telah tergila-gila dengan minuman pembangkit kreatifitas ini. Kegilaannya bermula sejak lawatannya sekaligus menuntut ilmu di fakultas kedokteran di salah satu universitas terbaik masa itu di Italia. Para ahli botani dan kawan-kawan Arab-nya lah yang memperkenalkannya kopi.
Sepulang dari Italia, ia mulai rajin mengimpor kopi untuk digunakan secara pribadi. Sampai ia meninggal dalam usia 79, kopi tak pernah alpa menemani masa hidupnya. Konon, dia menjemput ajal dengan sebuah biji kopi terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya. “Biji kecil ini adalah sumber kebahagiaan dan kecerdasan,” begitu ia berseru.
Ia mewariskan 25 kilogram kopi beserta seluruh simpanannya untuk rekan-rekannya di Royal College of Psyichians. Ia memberi syarat: kawan-kawannya harus menaburkan serbuk kopi warisan itu setiap bulan sampai persediaannya habis. Legenda mengatakan, penemuannya tentang sirkulasi darah dalam tubuh manusia tadi bermula saat ia menikmati kopi terlalu banyak, sampai ia mampu mendengar detak jantungnya sendiri.

Jumat, 27 Oktober 2017

Sumpah Pemuda, Perjalanan Jatuh Bangun Mencari Simbol Kebangsaan

*Dedy Ahmad Hermansyah





Sumpah Pemuda merupakan sebuah simbol penting bagi bangsa Indonesia. Ia menjadi satu momen dalam sejarah di mana nilai-nilai persatuan sebagai satu bangsa diperbincangkan dan dirumuskan. Di sana ada perdebatan panjang serta penuh konflik berkaitan dengan bentuk persatuan yang ideal, yang saling tumpang tindih dengan kepentingan kekuasaan di masing-masing rezim. Mempelajari serta memahami baik sisi terang dan gelap sejarah Sumpah Pemuda ini mutlak dibutuhkan untuk membangun sikap kritis. Untuk itu, segala gelagat dari pihak mana pun yang mencoba menutup ruang bagi kajian kritis kepada sejarah dan memaksakan satu versi mestilah dikritik dan dilawan.

Dengan semangat itulah Keith Foulcher menuliskan esai historiografinya “Sumpah Pemuda: the Making and Meaning of a Symbol of Indonesian nationhood”. Hasil penelitiannya selama kurang lebih dua tahun itu kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia”. Ia mengajak kita bersikap lebih kritis terhadap makna Sumpah Pemuda yang, menurutnya, selalu ditunggangi oleh kekuasaan sesuai dengan ideologi yang diusung. Ahli bahasa dan Sastra Indonesia ini berhasil menyajikan data-data penting dan detail berkaitan dengan proses rekonstruksi serta reproduksi makna Sumpah Pemuda di masing-masing rezim sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia.

Esai yang aslinya diterbitkan dalam jurnal Asian Studies Review, volume 24, nomor 3, September 2000 ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana pertama kali penggagasan penciptaan simbol persatuan oleh para pemuda, tarik-menarik pengaruh masing-masing pelaku terkait konsep ideal sebuah persatuan, peran negara dalam memanfaatkan momen itu kemudian menyematkan makna baru sesuai kepentingannya. Eksplorasi yang padat data tujuannya bukan untuk menggugat peristiwa Sumpah Pemuda itu sendiri, namun agar kita sebagai bangsa lebih bisa memahami Indonesia dengan lebih dalam.

Kamis, 26 Oktober 2017

Puisi dan Gairah Sebuah Kota

*Esha Tegar Putra  




[Catatan ini dibuat untuk agenda diskusi Octofest 2017, 23 Oktober 2017, di Mataram, Lombok. Berangkat dari tawaran Kiki Sulistyo untuk membicarakan hubungan puisi dan proses penulisan puisi dengan kota. Saya memulai dari persentuhan saya dengan Padang. Melanjukan dengan contoh beberapa puisi dan peristwa puisi yang ditulia oleh beberapa penyair tentang kota. Tulisan ini hanya pembacaan awal untuk kemudian akan dilanjutkan kembali pembicaraannya di Padang dengan riset yang diupayakan lebih lengkap. Banyak karya-karya tentang kota di Indonesia yang tidak dapat saya runut dalam makalah ini. Mudah-mudahan mendapat pemakluman dari pembaca sekalian. Salam hangat.]



Beberapa tahun belakangan orang-orang gemar melakuan perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu dusun ke dusun lain, dari satu tempat recom m ended ke tempat recom m ended lain. Orang-orang menyebut tubuh mereka sebagai backpacker — tidak dapat dipadankan dengan pengelanaan. Dari satu lanskap ke lanskap lain mereka lipat ke dalam potret, disebar ke media sosial, dan gairah perjalanan mereka diterima oleh para backpacker lainnya. Suasana dihadapkan pada kacamata eksotisitas, sebuah lanskap dibekap dengan bantuan filter kamera dan berbagai aplikasi penjernih lain.  

Maka terhidanglah pada kita: pantai bersih dengan gadis molek berkacamata hitam duduk santai berselonjoran; potret orang berdiri di atas batu karang menjulang tinggi dengan latar laut jernih dan bukit kerang melingkar; gunung di tengah laut dihimpit dengan gelas wine; kaki (dan hanya kaki) kelihatan menjuntai di ujung biduk; dst. dan sudah barang tentu sepenggal ‘puisi’ mengiringi potret-potret tersebut dengan kekaguman teramat sangat terhadap lanskap daerah yang mereka kunjungi—untuk tidak mendekatkannya dengan puisi maka diistilahkan dengan caption. 

Secara garis besar saya ingin mengetengahkan gambaran bagaimana laku ‘puisi’ di tengah-tengah manusia kekinian. Sebelum masuk ke tawaran Kiki Sulistyo mengenai topik lanskap “kota sebagai sumber penciptaan” atau gerak perubahan kota dan bagaimana karya sastra berupaya mencari jalan untuk menjadi bagian dari ingatan kolektif—bermula dari ingatan personal, ketika karya hadir ia kemudian bergerak menjadi ingatan kolektif. Ternyata orang-orang masih butuh hidangan puisi berbarengan dengan bentangan lanskap yang dipajang di laman media sosial. 

Rabu, 25 Oktober 2017

Bila Pramoedya Menulis Korupsi

*Nurhady Sirimorok




“Saya baru baca satu karya Pramoedya Ananta Toer, Korupsi.” Begitu kata kawan saya, seorang peneliti Perancis. Ia mengenang pertemuannya dengan buku ini sebagai pengalaman yang mengesankan. Dan dari kisah perjumpaannya dengan Korupsi, saya belajar satu hal lagi dari sang novelis, Ia memang tukang nujum yang lihai.

Di tahun 1981, Denys Lombard menerjemahkan Korupsi ke dalam bahasa Perancis. Karya ini rupanya sampai ke tangan seorang penulis Maroko yang sudah lama bermukim di Perancis, Tahar Ben Jelloun. Ketika sang novelis membaca karya ini ia langsung tertarik. Begitu terinspirasinya sehingga ia kemudian berpayah-payah menulis ulang karya ini, mengubah konteksnya menjadi konteks Maroko, jadilah L’Homme Rompu.

Dalam edisi bukunya Ben Jelloun menuliskan bahwa bukunya adalah saduran karya Pramoedya Ananta Toer. Dan keputusannya tak keliru. Bukunya dicintai publik Maroko hingga laku keras jauh lebih laris dari versi bahasa Perancis, terjemahan Denys Lombard, dari mana versi itu disadur. Ledakan versi Ben Jelloun inilah yang mendorong kawan saya memburu karya asli Pramoedya. Ia akrab dengan bahasa Indonesia, Ia Christian Pelras.

Mengapa buku ini bisa laku keras bahkan di negeri jauh? Ada yang universal sekaligus unik dalam buku ini. Universal karena menceritakan hal yang manusiawi: pertarungan menuju eksistensi dan kenyamanan hidup; dan unik karena sudut pandang dari mana Pram menyampaikan ceritanya.

Sabtu, 21 Oktober 2017

Imajinasi Sinetron dalam Cerpen Hamsad Rangkuti

*Irma Agryanti




Mencari kecacatan dalam cerpen Hamsad Rangkuti bagi saya sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Sebagai orang yang bukan ahli dalam melakukan kritik sastra, saya merasa tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa secara kebahasaan dan atau secara teknik. Satu-satunya hal yang kemudian coba saya dekati ketika membaca kumpulan cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” adalah posisi Hamsad sebagai pengarang terhadap runtutan cerita yang dibangunnya.

Ada 16 cerpen di dalam buku “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” dan dari pembacaan saya terhadap buku tersebut, kelemahan cerpen Hamsad yang tampak di beberapa cerpennya yaitu tidak adanya biografi tokoh-tokoh baik itu tokoh utama maupun tokoh lainnya. Sebagai suatu peristiwa saya kira tak masalah jika seorang tokoh tiba-tiba muncul tanpa biografi apapun tetapi sebagai sebuah cerita tentu biografi sangat dibutuhkan sebagai keterbacaan kronologis cerita dalam hal ini adalah ketersampaian motif pengarang kepada pembacanya. Karena itu bagi saya tindakan Hamsad yang tanpa memberikan biografi ini seolah-olah seperti ia melemparkan tokohnya begitu saja ke dalam wilayah cerita.

Dalam cerpen Dia Mulai Memanjat, Hamsad “melemparkan” seorang tokoh laki-laki yang setiap tengah malam memanjat patung untuk menggergaji kepala patung tersebut. Pekerjaan itu ia lakukan setiap malam sampai menjelang subuh dan hingga malam ke 12 akhirnya kepala patung tersebut berhasil terpenggal. Siang harinya warga kota ramai berkumpul di sekitar patung untuk memotret. Malam harinya setelah jalan raya sepi, laki-laki tersebut mulai memanjat lagi. Dalam cerpen ini hamsad sama sekali tidak menjelaskan biografi si tokoh laki-laki (siapa, dari mana, bagaimana) sehingga landasan si tokoh melakukan tindakan-tindakan tersebut tidak terbaca oleh pembaca. Pembaca seolah hanya disuguhkan sebuah peristiwa tentang seorang laki-laki yang berhasil memenggal kepala patung.

Jumat, 20 Oktober 2017

Membaca Hamsad Rangkuti: Karya dan Dunianya

*Iin Farliani




Telah banyak diulang persoalan kemiskinan pada pengantar di buku-buku Hamsad Rangkuti yang dicetak ulang, sehingga jika saya membicarakannya lagi dalam telaah sederhana ini, ibaratnya menggarami lautan. Rangkuman pembicaraan kemiskinan lazimnya terjebak pada sengkarut sekelompok manusia yang terperangkap dalam ketidakberdayaan. Wilayah yang seolah memancing kecaman moral kepada segala hal yang dianggap tidak seimbang. Sambutan yang kemudian diharapkan adalah munculnya semacam empati kepada mereka yang tertindas, mereka yang muskil menjangkau apa-apa yang berada di atas.

Meneropong kemiskinan dalam bahasa ‘kelompok’ acap kali mengabaikan suara-suara pribadi. Kesedihan sebagai sesuatu yang intim menjelma menjadi kesedihan yang umum. Kemiskinan tampil sebagai sekedar rentetan yang melingkar-lingkar antara penindas dan yang ditindas. Sehingga kemudian, kemiskinan yang dihadirkan bagaikan adonan pengalaman yang meronta menuntut keadilan.

Apa yang tertangkap oleh saya selama pembacaan karya Hamsad Rangkuti juga tak lepas dari persoalan kemiskinan. Diterima atau dielakan, esai ini niscaya juga menambah perbendaharaan perihal kemiskinan yang mendominasi karya Hamsad Rangkuti. Apakah itu kemudian menutup pintu makna lain yang bisa dilihat dari kemiskinan itu? Khususnya jika mengulik cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti, tidak adakah sesuatu yang dapat jauh lebih diurai dari wilayah kemiskinan itu sendiri?

Membicarakan karya Hamsad Rangkuti, gambaran umum yang kemudian muncul adalah pertalian karyanya dengan kehidupan pengarangnya. Lintasan hidupnya sebagai pendatang di Jakarta telah membawanya pada realitas kemiskinan di gubuk-gubuk kere sepanjang tepi Kali Malang, gubuk-gubuk pelacuran Planet senen, hingga berani menyingkap gorden kamar-kamar perempuan penghibur. Kepindahannya itu menjadi bahan rangsangan kreatif yang kuat untuk menghasilkan deskripsi yang lincah mengenai kere-kere di gubuk kali, kejahatan kriminal di kota besar tanpa harus terjebak ke dalam idea-idea “kemiskinan” yang lebih condong mengejar dramatisasi. Siapa dapat tahan membaca cerpen yang penuh dengan demonstrasi penderitaan tanpa adanya suasana sebuah dunia pribadi yang tetap terpelihara? Hamsad Rangkuti adalah penulis yang jeli menangkap suasana pribadi itu sekaligus membuatnya tetap terjaga hingga akhir cerita.

Kita tak dapat melupakan misalnya tokoh aku dalam cerpen Perbuatan Sadis yang tidak dapat berbuat apa pun terhadap wanita di hadapannya yang menjadi korban penodongan. Mulanya, pembaca seakan diberi ruang untuk melepas kelegaan ketika si tokoh wanita memberitahu tokoh aku bahwa kalung yang dirampas oleh dua perampok itu hanya kalung imitasi. Tetapi, keadaan kemudian kembali menjadi genting saat dua pelaku itu kembali ke tempat kejadian perkara lalu memaksa wanita itu menelan kalung imitasinya. Kegetiran tidak selesai sampai di sana sebab cerpen ditutup dengan teriakan tokoh wanita yang histeris mengatakan, “Tolong! Tolong! Saya menelan perhiasan!”

Kamis, 19 Oktober 2017

Membaca Riwayat Benjor

*Itsna Hadi Saptiawan




Budi Darma dalam pengantar kumpulan cerpennya Orang-Orang Bloomington (1980) menyatakan bahwa setiap pengarang pada hakikatnya memperjuangkan tema. Yang lain-lain seperti bahasa, plot, karakterisasi, dan sebagainya hanya dapat ada untuk mendukung tema. Setujukah Anda? Silahkan beliau didebat. Namun bila dipikir lagi, tampak bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Seorang penulis belajar mengenali huruf, setelah itu belajar merangkai kata, menyambungnya dalam frasa, lalu membungkusnya sebagai kalimat dan seterusnya. Yang tetap melekat di pikirannya sedari awal adalah tema. Bahasa hanya alat mengemukakan pendapat. Karena itulah maka pada karya penulis pemula unsur-unsur selain tema terkesan eksperimental, kalau tidak mau menyebutnya norak dan ugal-ugalan. Alur, tipografi, persajakan, atau karakterisasi merupakan barang mentah yang coba diolah oleh seorang penulis pemula menjadi sajak atau cerpen. Hasilnya, wallaahualam.

Terminologi ‘coba-coba’ ini yang lalu layak dipertanyakan. Karena sastra merupakan bangun bentuk dan isi, pada sisi mana terminologi ini layak disematkan? Apakah pada bentuknya yang inovatif, ataukah pada isinya yang cenderung bombastis?

Saya terdiam sejenak. Saya memahami, sebagai orang yang pernah lalai atas tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengajaran di sekolah dan kampus, tidak mudah menemukan justifikasi yang tepat bagi setiap vonis yang diberikan kepada karya-karya para penulis pemula. Ini hanya salah satu dari sekian istilah yang ditempelkan ke jidat anak-anak itu. Dan tidak dapat disangkal jika beberapa alasan yang menyebabkan munculnya istilah ini berkaitan erat dengan ketidaksamaan teori dan praktik. Jauh panggang dari api. Atau pada tingkatan yang sarkastik, ketidakmampuan para penulis pemula memenuhi kualitas super pada karya yang dihasilkannya.

Pada Bayu, saya speechless. Budi Darma turut memberikan pengakuan, Bro! Apalah arti saya yang tidak punya satu cerita pun untuk dipamerkan. Membaca satu persatu cerpen dalam kumpulan miliknya membuat saya hendak mengenyampingkan deduksi pada tiga paragraf yang awal. Saya rasa, beberapa orang memang terlahir lebih matang dalam hal keahlian bercerita, sedang yang lain terlahir prematur untuk mencela cerita orang itu. Persis seperti yang saya lakoni sekarang.

Jadi apakah Bayu seorang yang eksperimental seperti diusulkan oleh premis di atas? Atau tidakkah sebaiknya kita hanya mengambil dua silabe akhir dari terminologi tersebut? Nah untuk memahaminya, mari membaca terlebih dahulu.