*Dedy Ahmad Hermansyah
Cerita novel ini sangat sederhana: seorang pria bernama Shimamora bertemu seorang gadis geisha muda, Komako, setelah perjalanannya naik gunung. Diam-diam Komako jatuh cinta kepadanya. Begitu pun sebaliknya. Tapi cinta mereka terhalang oleh berbagai aral. Geisha, sebagai seorang perempuan sekaligus seniman, yang bertugas melayani tamu di berbagai perjamuan, menari, bernyanyi dan bermain shamisen, terikat kontrak sebagai geisha selama beberapa tahun, dan sebagaimana lazim diketahui, menjadi geisha adalah menjadi orang yang ditakdirkan untuk tidak boleh memiliki perasaan cinta atau jalinan asmara dengan laki-laki. Di pihak lain, Shimamora, laki-laki yang menyebut dirinya pengangguran hanya sekali-kali menulis artikel tentang seni serta hidup dengan warisan orang-tuanya, adalah pria yang sudah beristri dan punya beberapa anak.
Halangan cinta mereka digambarkan dengan lambat, namun lembut. Kita diseret ke dalam pusat batin Komako dan Shimamora. Komako, barangkali adalah perempuan yang cerewet. Tapi ia sangat cerdas menyembunyikan perasaannya. Jika pun harus dikatakan, ia harus melewati jalan panjang untuk sampai ke maksud yang ingin ia sampaikan. Shimamora, barangkali adalah laki-laki yang blak-blakan. Kekagumannya kepada Komako tidak langsung terbit pada pertemuan pertama. Kecerewetan Komako, kisah kehidupannya sendiri (Komako senang menulis catatan harian, tapi ingin segera membakarnya), dan kemahirannya memetik shamisen yang tak disangka-sangka oleh Shimamora, semua menggumpal menjadi satu perasaan aneh yang kemudian ia pastikan sebagai cinta yang jatuh.
Cerita berpusat kepada mereka yang saling jatuh cinta. Memang ada dua tokoh lain yang ikut bermain—Yoko dan Yukio. Yoko adalah perempuan belasan tahun yang tinggal bersamanya. Sedangkan Yukio adalah laki-laki yang dirawat oleh Komako atas alasan ia berhutang budi kepada ibu Yukio yang pernah menjaganya. Shimamoro mendapat informasi, Yukio adalah tunangan Komako. Tapi Komako membantah. Dua tokoh tadi tak terlalu punya peran signifikan terhadap alur cerita. Yukio segera meninggal setelah sakitnya sudah sangat parah. Dan Yoko juga meninggal tepat di akhir novel setelah jatuh dari satu bangunan yang terbakar.
Jangan terlalu berharap mencari kejutan-kejutan berupa pengungkapan satu masalah atau konflik di dalam novel ini. Menurut saya, keindahan novel ini terletak pada penggambaran yang detail tentang jantung kebudayaan Jepang, perubahan-perubahan dalam dunia geisha (bahkan ‘geisha’ sendiri sudah menjadi satu hal menarik dalam novel ini), serta ungkapan-ungkapan perasaan yang begitu bermakna dan syarat perenungan. Jika ibarat berenang, novel ini menyelam ke palung paling dalam, bukan menuju ke jarak samudera paling jauh.