Sabtu, 30 September 2017

Cinta Semasa Salju

*Dedy Ahmad Hermansyah




Cerita novel ini sangat sederhana: seorang pria bernama Shimamora bertemu seorang gadis geisha muda, Komako, setelah perjalanannya naik gunung. Diam-diam Komako jatuh cinta kepadanya. Begitu pun sebaliknya. Tapi cinta mereka terhalang oleh berbagai aral. Geisha, sebagai seorang perempuan sekaligus seniman, yang bertugas melayani tamu di berbagai perjamuan, menari, bernyanyi dan bermain shamisen, terikat kontrak sebagai geisha selama beberapa tahun, dan sebagaimana lazim diketahui, menjadi geisha adalah menjadi orang yang ditakdirkan untuk tidak boleh memiliki perasaan cinta atau jalinan asmara dengan laki-laki. Di pihak lain, Shimamora, laki-laki yang menyebut dirinya pengangguran hanya sekali-kali menulis artikel tentang seni serta hidup dengan warisan orang-tuanya, adalah pria yang sudah beristri dan punya beberapa anak.

Halangan cinta mereka digambarkan dengan lambat, namun lembut. Kita diseret ke dalam pusat batin Komako dan Shimamora. Komako, barangkali adalah perempuan yang cerewet. Tapi ia sangat cerdas menyembunyikan perasaannya. Jika pun harus dikatakan, ia harus melewati jalan panjang untuk sampai ke maksud yang ingin ia sampaikan. Shimamora, barangkali adalah laki-laki yang blak-blakan. Kekagumannya kepada Komako tidak langsung terbit pada pertemuan pertama. Kecerewetan Komako, kisah kehidupannya sendiri (Komako senang menulis catatan harian, tapi ingin segera membakarnya), dan kemahirannya memetik shamisen yang tak disangka-sangka oleh Shimamora, semua menggumpal menjadi satu perasaan aneh yang kemudian ia pastikan sebagai cinta yang jatuh.

Cerita berpusat kepada mereka yang saling jatuh cinta. Memang ada dua tokoh lain yang ikut bermain—Yoko dan Yukio. Yoko adalah perempuan belasan tahun yang tinggal bersamanya. Sedangkan Yukio adalah laki-laki yang dirawat oleh Komako atas alasan ia berhutang budi kepada ibu Yukio yang pernah menjaganya. Shimamoro mendapat informasi, Yukio adalah tunangan Komako. Tapi Komako membantah. Dua tokoh tadi tak terlalu punya peran signifikan terhadap alur cerita. Yukio segera meninggal setelah sakitnya sudah sangat parah. Dan Yoko juga meninggal tepat di akhir novel setelah jatuh dari satu bangunan yang terbakar.

Jangan terlalu berharap mencari kejutan-kejutan berupa pengungkapan satu masalah atau konflik di dalam novel ini. Menurut saya, keindahan novel ini terletak pada penggambaran yang detail tentang jantung kebudayaan Jepang, perubahan-perubahan dalam dunia geisha (bahkan ‘geisha’ sendiri sudah menjadi satu hal menarik dalam novel ini), serta ungkapan-ungkapan perasaan yang begitu bermakna dan syarat perenungan. Jika ibarat berenang, novel ini menyelam ke palung paling dalam, bukan menuju ke jarak samudera paling jauh.

Kamis, 28 September 2017

Berkunjung ke 'Negara Kecil' Bung Pram

*Dedy Ahmad Hermansyah






--sebuah wawancara imajiner--




Perjalanan ini semakin mendekatkanku padamu. Bung, aku datang membawa setumpuk kerinduan, juga pertanyaan-pertanyaan yang barangkali sudah sering kau dengar dari para peneliti, wartawan, anak-anak muda yang mendatangi rumahmu. Barangkali Bung sudah menyiapkan sekian jawaban yang sama untuk pertanyaan yang itu-itu juga. Melulu perihal luka-lukamu di masa lalu, cita-citamu yang membiru, dan segenap harapanmu untuk generasi muda yang semakin kukuh.

Bung, lima belas menit lagi aku tiba di hadapan pagar rumahmu. Rumahmu telah lama bermukim di kepalaku. Foto-foto dan video yang banyak tersebar di dunia maya-lah yang membangunnya. Tiga tingkat kan? Menjulang berwarna biru langit, kokoh—persis seperti gambaran dirimu di dalam otakku.

Rumah itu, barangkali bukanlah rumah yang benar-benar kau impikan. Ia hanya satu usaha pembuktian kepada mereka yang meremehkanmu—Bung bisa bangkit dan membangun rumah meski berpuluh tahun menderita.

Ah, Bung, aku jadi teringat dengan penjelasan seorang sejarawan muda tentang rumah dalam kehidupanmu. Ia katakan, Bung sedari kecil telah memimpikan rumah dalam dua pengertian: ruang dan fisik (home dan house). Sialnya, Bung terseok-seok membangunnya. Sepanjang umurmu, rumah dalam dua pengertian ini kacau balau, dihantam badai, dihancurkan oleh orang-orang yang tak punya jiwa peradaban tinggi.

Bung lahir di Blora, tapi kemudian pindah ke Jakarta. Bung punya ingatan yang memilukan saat mengenang Ayah dan Ibu Bung. Bung ditempa oleh kerasnya kehidupan di masa kecil, dipertajam untuk cinta kepada keadilan. Rumah masa lalu itu begitu buram dan muram.

Bung menulis, berfikir, bercita-cita tentang Indonesia yang semestinya. Tak berhenti di situ, cita-cita itu Bung perjuangkan. Dalam usaha perjuangan itu, musuh-musuh berdiri garang di hadapan Bung. Dengan kesadaran dan atas nama kewajiban nasional, Bung terus bergerak maju.

Hingga satu peristiwa paling memilukan terjadi di tanah air Indonesia ini. Itu pada tahun 1965. Seluruh bangunan rumah dalam dua pengertian itu hancur perlahan-lahan. Puing-puingnya menjadi luka yang terus Bung bawa ke tempat pengasingan Bung. Rumah yang Bung bangun dirampas tentara. Istri dan anak-anak Bung terlantar mencari rumah—rumah tempat berteduh dan rumah yang adalah Bung sebagai bagiannya.

Matahari sebentar lagi pulang. Aku sudah mendekati rumah Bung. Kepala terasa berat. Ada yang hendak meledak di sana. Barangkali sejenis kegembiraan yang berlebihan! Ah, akankah senyum dengan tawa kecilmu Bung yang akan diberikan kepadaku? Semoga saja!

Aku tiba Bung. Aku sudah membayar taxi. Barang-barangku—tas hitam besar dengan sebungkus plastik berisi hadiah kecil—sudah kuturunkan. Iya, alamatnya benar: Jl. Warung Ulan No. 9 Bojonggede, Bogor. Begitu yang tertera di plang yang melekat di tembok pagar rumah Bung. Nah, sekarang seorang perempuan tua berkaca mata mendatangi pagar. Senyumnya ia pasang. Ia membuka pintu pagar:

Iman, Imam dan Umat

*Maia Rahmayati




Berkesempatan mengantar rombongan yang hendak memulai salah satu program penting dalam bidang desain tata ruang. Salah seorang diantara mereka adalah Bule asal Selandia Baru, yang menjadi konsultan spesialisnya. Kurang dari Empat jam saat berada di Kota Praya. Ia tak hentinya mengagumi keindahan kubah Masjid Agung yang berada tepat di tengah kota. Pun dengan ungkapan kekagumannya pada keberadaan Islamic Center di Kota Mataram. “Dari atas pesawat saya melihat Lombok ini seperti miniatur yang  indah” ucapnya.

Secara umum Ia terpukau pada bangunan masjid yang disaksikannya. Pada beberapa tempat di Indonesia yang ia kunjungi. Pulau Lombok,  menurutnya adalah termasuk yang unik dan sangat menarik. Lantas  ia membandingkan kondisi tersebut dengan kota-kota di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang pernah Ia kunjungi, seperti di Iraq, Iran, Palestina. Menurutnya, kubah-kubah Masjid di Lombok, jauh lebih baik secara desain, pilihan  warna dan detail arsitekturnya. Saat itu, saya hanya senyum-senyum. Semacam ada rasa bangga mendengar rangkaian ceritanya.

Selasa, 26 September 2017

Sejumlah Kebaikan Perempuan-Perempuan Kalah

*Dedy Ahmad Hermansyah. 

Diskusi pada peluncuran buku 'Kebaikan Istri', Minggu 06 Agustus 2017, di Hotel Paradiso


Pertama kali disodorkan buku Kumpulan Cerpen Kebaikan Istri yang ditulis oleh Budi Afandi, saya langsung membolak-balik halaman dan membaca judul-judul cerpen di dalamnya. Ada 15 Cerpen. Dua judul ada menyebutkan kata ‘Perempuan’, tiga judul menyimpan nama perempuan (Maemunah, Siti Salemah, dan Aya), dua judul lagi menggunakan kata yang merepresentasikan perempuan (Ibu, dan Istri), satu judul yang berupa persis satu kata yang identic dengan perempuan (Ngidam), tiga judul memuat kata yang barangkali juga dekat dengan dunia perempuan (Penunggu, rumah, dan lukisan), dan sisanya terselip kata yang identic dengan laki-laki (Detu Tuan, Lelaki dan Kantong Plastik Hitam, Jalan Kecil Menuju Pelabuhan).

Tak bisa saya elakkan, kesan itulah yang kemudian menuntun saya untuk mencari tahu: sejauh mana cerita-cerita tersebut menegetengahkan persoalan perempuan, latar atau konteks social seperti apa yang dihadapi oleh perempuan-perempuan dalam cerita-cerita dalam buku ini, bagaimana perempuan menghadapi masalah tersebut, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan teknis seperti menyangkut bahasa, estetika, teks, tata bahasa, efek rasa, menyusul kemudian.

Sebelum saya lanjutkan, perlu dicatat: saya bukanlah orang yang mampu menulis kritik sastra (ini kerja yang besar dan agung yang berat saya lakukan), mampu menganalisa cerita dengan metode-metode sastra tertentu, atau membedah dengan sangat detail sebagaimana halnya ahli linguistic. Anggap saja ini hasil pembacaan sekilas pegandrung sastra, khususnya cerita pendek, yang amatir yang kesannya akan lebih terasa subyektif alih-alih obyektif.

Senin, 25 September 2017

Tukang Pos yang Mencintai Pekerjaannya

*Maia Rahmayati

1478916035421-156584543




“Tak ada perjalanan yang lebih menyenangkan selain perjalanan yang benar-benar dinikmati”. Pada kata “perjalanan” kita boleh juga menggantinya dengan kata “pekerjaan”. Sebab, untuk sebagian besar orang ada yang memilih profesi pekerjaannya ya sambil jalan-jalan, atau sebaliknya.. “jalan-jalan sambil kerja”. Tidak perlu membandingkan keduanya, sebab setiap orang memiliki pengalaman berbeda, dan sekali lagi.. perbedaan penting ada untuk dirayakan, disyukuri.

Kedua buku ini secara umum, saya melihatnya begitu, dari kisah latar perjalanan seorang “tukang pos” yang sehari-hari mengantarkan surat-surat menggunakan sepeda merah.

Kim Dong Hwa dalam Sepeda Merah Yahwari #1 menuliskan prolog “Menjadi Penulis itu mirip dengan menjadi tukang pos……” kalimat ini penting untuk memahami alur cerita, pesan, teks dan konteks pengalaman si Tukang Pos bersama Sepeda Merah.
Ia menyatakan “kemiripan” itu sebagai gambaran pengalaman dalam perjalanan; menyusuri desa-desa, bertemu orang-orang dengan berbagai latar pekerjaan, pendidikan, ekonomi, serta membuat catatan-catatan simpulan dari “gejala” yang disajikan dalam realitas sosial tersebut.