Rabu, 22 Februari 2017

LITERASI DAN TUMPUKAN KEBODOHAN



LITERASI DAN TUMPUKAN KEBODOHAN[1]



Oleh: Salman Faris[2]
 


Merujuk kepada beberapa sumber, seperti Merriam-Webster, menyebutkan bahwa literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar)." Lebih jauh lagi, National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Sedangkan Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa Literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Dan yang lebih pasti ialah pengertian literasi ini bukan bikinan kita. Bukan piaan orang Sasak hanya karena orang Sasak lambat mengenal huruf latin dan lelet pandai mendialogkan diri secara baik. Maka diskusi tentang literasi dalam konteks tulisan ini ialah meletakkan literasi sebagai arena, di mana segala hal dijadikan sebagai alat pertarungan: Kuasa dan Si Terkuasai. Singkatnya definisi tentang literasi ini merujuk kepada syarat dan ciri-ciri manusia unggul dan tampaknya hanya cocok dilekatkan kepada bangsa superior. Perhatikan dengan cermat inti gagasan dalam definisi yang disebutkan, akan tampak, betapa orang Sasak selalu di belakang atau terbelakang atau dibelakangkan. Jika pun sudah memiliki kemampuan individu, kemampaun itu didapat setelah Jawa. Dan Jawa setelah Barat. Dan Barat setelah Barat lainnya. Hebat betul wacana literasi ini, bukan?

PAWON Sebagai Semiotika Fenomena : Tanda yang Mengandung “tanda-tanda” *



Dr. Nuriadi S.S. M.Hum


Dr. Nuriadi. S.S. M.Hum













Dosen Sastra dan Budaya di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, dan Prodi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia serta Pascasarjana Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Mataram.
 
*Makalah disampaikan  pada Acara Diskusi Forum Wiken bertema "Tradisi Literasi, Panglima Kebudayaan NTB dan Bedah Buku "PAWON" [Bumbu Sehat Untuk Berpikir] Karya Maia Rahmayati, Bale ITE_NTB Jumat, 10 Februari 2017 



Pawon itu dapur, istilah bahasa Sasak, yang secara asal kata atau etimologis berasal dari kata pe-awu-an, yang secara praktis dibaca atau diucap “Pawon”. Awu itu berarti Abu. Jadi dengan demikian, Pawon itu identik atau lekat dengan abu. Ini bisa terjadi karena gambaran seseorang ketika menyebut Pawon itu berkaitan dengan penggambaran tentang bagaimana keadaan dapur pada rumah tangga pedesaan, khususnya di wilayah Lombok, pada jaman dahulu di mana belum ada kompor minyak atau kompor gas seperti yang umumnya ditemukan di masa sekarang ini. Abu itu menyiratkan situasi yang kotor, berdebu, sebagaimana biasanya acap ditemui di dalam tungku (jangkih), sebuah perabot yang umumnya terbuat dari tanah liat yang dikeraskan sedemikian rupa sehingga benar-benar berfungsi sebagai alat untuk memasak dengan sumber pembakaran utamanya adalah kayu.


Kata “pawon” itu tidak hanya ditemukan atau dipakai oleh masyarakat Sasak saja, tetapi juga dipakai di masyarakat Jawa dan Bali. Dengan kata lain, istilah ini berpencar di dalam tiga bahasa dari tiga suku bangsa yang berbeda. Di Jawa disebut Pawon, di Bali disebut Paon atau sesekali disebut pula Pewaregan, dan di Sasak disebut Pawon juga. Menariknya, saya tidak tahu bangsa yang mana yang lebih dahulu memakai istilah tersebut sebagai kata referensial untuk sebuah ruang kecil di dalam rumah yang khusus untuk dimanfaatkan dalam aktifitas masak-memasak. Namun, jika boleh berasumsi, tampaknya masyarakat Jawa-lah yang lebih dahulu menyebut istilah tersebut mengingat kesejarahan Jawa yang pernah berkuasa atau mengkolonialisasi dua suku bangsa lainnya, paling tidak jika kita menilik keberadaan Kerajaan Majapahit sejak abad ke-13 hingga abad ke-15.


Kamis, 09 Februari 2017

Selamat Datang di Teman Baca

Selamat datang, Teman Baca. Selamat atas blog barunya. Semoga tidak berhenti sebelum melangkah. Mari. Salam literasi!