Minggu, 01 Oktober 2017

Sastra NTB, Menggeliat Bersama Komunitas

*Muh. Ardian Kurniawan


Ritual menghalau kemarau panjang di Dusun Ende Dusun Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. (fotografer: Lamuh Syamsuar)




Bagi mereka yang akrab dengan gemuruh sastra Indonesia—sering kali yang menjadi acuan adalah sastra di media massa—hampir saban minggu akan mendapati ada satu atau lebih penulis/sastrawan asal NTB yang mengisi halaman-halaman di rubrik-rubrik sastra media massa lokal dan nasional. Nama-nama seperti Irma Agryanti, Tjak S. Parlan, Kiki Sulistyo, Budi Affandi, Muh. Baihaqi Alkawy, Fatih Kudus Jaelani, Lamuh Syamsuar, Gustu Sasih, Iwan Safwan, Iin Farliani, Bayu Pratama, atau Arianto Adipurwoko (dan banyak lagi yang tidak muat untuk disebut satu per satu) acap kali hadir di koran edisi hari Sabtu atau Minggu dalam satu dekade terakhir. Jika mencari garis hubung, dikenalnya nama-nama ini di redaktur sastra media massa dan masyarakat pembaca karya sastra tidaklah lepas dari keberadaan komunitas sastra yang juga merebak sejak belasan tahun yang lalu di NTB. Mulai dari Komunitas Akarpohon di Mataram, Komunitas Rabu Langit di Lombok Timur, kemudian diiringi dengan sejumlah komunitas baru yang berdiri secara sporadis hingga sekarang muncul pula Komunitas Kembangkomak dan Klasika di Lombok Tengah. Secara perlahan, komunitas-komunitas ini berhasil menaikkan kembali antusiasme masyarakat terhadap karya sastra. Dan, tentu saja, ini dilakukan jauh sebelum Gerakan Literasi Sekolah digagas oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan!

Sesungguhnya, komunitas sastra bukanlah hal yang baru dalam jagat sastra Indonesia. Di masa awal perkembangan sastra modern, sastrawan dan seniman/budayawan sudah sering membuat kelompok-kelompok kerja kreatif masing-masing. Sebut saja Pujangga Baru, Seniman Gelanggang, dan Manifes Kebudayaan yang cukup fenomenal dalam dinamika perkembangan kesusastraan Indonesia. Dari komunitas-komunitas inilah lahir para sastrawan Indonesia yang kemudian sohor mendunia. Lantas, seperti efek domino, bertaburan pula komunitas-komunitas sastra lain di daerah hingga kini. Penggagasnya adalah mereka yang memiliki keseriusan di bidang ini, bisa saja sesama penulis maupun melibatkan akademisi yang turut gelisah dengan kondisi kesusastraan di tempat mereka.


Dinamika serupa tampaknya juga terjadi dan menginisiasi lahirnya sejumlah komunitas sastra di NTB. Berbekal korespondensi dan tukar-menukar kabar dengan sejumlah sastrawan/ penulis di tempat berbeda, kelompok-kelompok kecil dibuat. Mungkin dimulai dengan hanya sekadar bertukar bahan bacaan, kirim-mengirim karya yang dipublikasikan di media massa, lalu bergeser pada bedah karya, dan rencana publikasi. Ide-ide baru muncul seiring dengan semangat yang membuncah, seiring teman yang bertambah. Ruang-ruang apresiasi diciptakan untuk bertumbuhnya kegiatan sastra. Sastra pun menggeliat seiring dengan upaya komunitas sastra mencari ruang. Maka, muncullah kegiatan bertajuk “Ngeder Sastra” yang diselenggarakan oleh Komunitas Rabu Langit. Komunitas Akarpohon pun mengadakan kenduri sastra yang diberi tajuk “Roah Akarpohon”. Terakhir, “Oktofest” yang diselenggarakan dengan melibatkan komunitas yang lebih luas dan lebih banyak. Jangan pula lupakan bagaimana media lokal NTB sejak tahun 2013 (Suara NTB dan Lombok Post) sudah menyediakan ruang khusus sastra untuk mengakomodasi kerja kreatif sastra, sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Ini hanya sebagian kecil dari keberhasilan kerja komunitas sastra dalam proses bertumbuhnya kultur sastra. Saya katakan sebagian kecil karena hal yang paling esensial dari semua itu adalah terwariskannya semangat bersastra kepada generasi yang lebih muda. Komunitas sastra telah menjadi wadah yang tepat untuk membuat sastra bertumbuh secara alami. Komunitas sastra secara internal menjadi “rumah” bagi para penulis pemula dan peminat kajian sastra untuk berkumpul dan berkarya.


Dunia akademik yang Tumpul

Namun sayang, komunitas sastra hanya bekerja sendiri. Di satu sisi, geliat komunitas sastra yang semarak menjalar sampai ke tingkat sekolah-sekolah di NTB. Hal sebaliknya terjadi pada dunia akademik (perguruan tinggi) yang seakan menarik diri dari keramaian tersebut. Dunia akademik menjadi ruang kering dan tandus. Tidak ada seminar-seminar, diskusi-diskusi, atau telaah kritis akademis bertajuk sastra. Padahal, asosiasi profesi bidang sastra seperti HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) dan ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) sudah terbentuk lama di NTB. Bahkan, Dewan Kesenian NTB yang semestinya menjalankan peran sebagai wakil “rakyat seni” guna memfasilitasi kesenjangan dari ruang akademik, tidak banyak membantu. Praktis isu terakhir yang terdengar dari dunia akademik adalah ide tentang Pergub Sastra yang tidak pernah ada tindak lanjutnya hingga sekarang. Pun Temu Sastrawan NTB yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa NTB sejak beberapa tahun terakhir lebih seperti acara seremonial daripada bentuk perhatian serius terhadap kesusastraan itu sendiri!

Kondisi bertolak belakang ini harus disikapi secara kritis. Sebab, menjadi aneh jika melihat apresian dan penulis bertumbuh kian ramai, sedangkan kritikus sastra justru tiada. Alhasil, karya sastra di dunia akademik hanya dibaca dan ditelaah untuk memenuhi tugas kuliah atau hibah/proyek riset. Reduksi peran akademik ini menggambarkan kelemahan mereka dalam merespons perkembangan sastra di wilayah sendiri. Lebih jauh lagi, ini adalah bentuk kegagalan dunia akademik: miskin di karya dan tumpul dalam analisis. Oleh karena itu, penulis dan sastrawan sangat jarang lahir dari dunia akademik.


Tidak Seiring-Sejalan

Kondisi yang tidak seiring-sejalan ini menandakan bahwa sastra NTB bertepuk sebelah tangan. Kondisi ini tentunya tidak baik bagi keberlangsungan iklim sastra. Sudah selayaknya antara para praktisi bersinergi dan saling mendukung dalam bekerja memakmurkan sastra secara bersama-sama. Hal seperti ini telah lama diterapkan di daerah lain. Misalnya, Universitas Gadjah Mada yang berinisiatif setiap bulan mempertemukan para akademisi dan praktisi sastra dalam satu forum diskusi ilmiah untuk membincangkan sastra. Beberapa karya milik sastrawan/penulis dianalisis dan dikritik oleh mahasiswa berdasarkan teori kesusastraan yang mereka kuasai. Dari sini terjadi dialog yang intens dan gesekan yang hangat antara praktisi dengan akademisi sehingga perkembangan wacana sastra terbaru akan bertemu dengan perkembangan teori sastra mutakhir. Alangkah indahnya jika iklim sastra seperti itu bisa juga bersemi di bumi Nusa Tenggara Barat kita ini.



*Tulisan ini diambil dari Buletin Sastra Duntal, edisi 12, Agustus 2017. Dimuat di sini untuk kepentingan pendidikan dan pengetahuan.



******



*Muh. Ardian Kurniawan. Dosen Jurusan Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia di Universitas Hamzan Wadi, Selong Lombok Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar