*Muh. Ardian Kurniawan
Ritual menghalau kemarau panjang di Dusun Ende Dusun Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. (fotografer: Lamuh Syamsuar) |
Bagi mereka
yang akrab dengan gemuruh sastra Indonesia—sering kali yang menjadi acuan
adalah sastra di media massa—hampir saban minggu akan mendapati ada satu atau
lebih penulis/sastrawan asal NTB yang mengisi halaman-halaman di rubrik-rubrik
sastra media massa lokal dan nasional. Nama-nama seperti Irma Agryanti, Tjak S.
Parlan, Kiki Sulistyo, Budi Affandi, Muh. Baihaqi Alkawy, Fatih Kudus Jaelani, Lamuh
Syamsuar, Gustu Sasih, Iwan Safwan, Iin Farliani, Bayu Pratama, atau Arianto
Adipurwoko (dan banyak lagi yang tidak muat untuk disebut satu per satu) acap
kali hadir di koran edisi hari Sabtu atau Minggu dalam satu dekade terakhir. Jika
mencari garis hubung, dikenalnya nama-nama ini di redaktur sastra media massa dan
masyarakat pembaca karya sastra tidaklah lepas dari keberadaan komunitas sastra
yang juga merebak sejak belasan tahun yang lalu di NTB. Mulai dari Komunitas
Akarpohon di Mataram, Komunitas Rabu Langit di Lombok Timur, kemudian diiringi
dengan sejumlah komunitas baru yang berdiri secara sporadis hingga sekarang
muncul pula Komunitas Kembangkomak dan Klasika di Lombok Tengah. Secara
perlahan, komunitas-komunitas ini berhasil menaikkan kembali antusiasme masyarakat
terhadap karya sastra. Dan, tentu saja, ini dilakukan jauh sebelum Gerakan
Literasi Sekolah digagas oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan!
Sesungguhnya,
komunitas sastra bukanlah hal yang baru dalam jagat sastra Indonesia. Di masa awal
perkembangan sastra modern, sastrawan dan seniman/budayawan sudah sering
membuat kelompok-kelompok kerja kreatif masing-masing. Sebut saja Pujangga Baru,
Seniman Gelanggang, dan Manifes Kebudayaan yang cukup fenomenal dalam dinamika
perkembangan kesusastraan Indonesia. Dari komunitas-komunitas inilah lahir para
sastrawan Indonesia yang kemudian sohor mendunia. Lantas, seperti efek domino, bertaburan
pula komunitas-komunitas sastra lain di daerah hingga kini. Penggagasnya adalah
mereka yang memiliki keseriusan di bidang ini, bisa saja sesama penulis maupun
melibatkan akademisi yang turut gelisah dengan kondisi kesusastraan di tempat
mereka.
Dinamika
serupa tampaknya juga terjadi dan menginisiasi lahirnya sejumlah komunitas
sastra di NTB. Berbekal korespondensi dan tukar-menukar kabar dengan sejumlah
sastrawan/ penulis di tempat berbeda, kelompok-kelompok kecil dibuat. Mungkin
dimulai dengan hanya sekadar bertukar bahan bacaan, kirim-mengirim karya yang
dipublikasikan di media massa, lalu bergeser pada bedah karya, dan rencana
publikasi. Ide-ide baru muncul seiring dengan semangat yang membuncah, seiring
teman yang bertambah. Ruang-ruang apresiasi diciptakan untuk bertumbuhnya
kegiatan sastra. Sastra pun menggeliat seiring dengan upaya komunitas sastra
mencari ruang. Maka, muncullah kegiatan bertajuk “Ngeder Sastra” yang
diselenggarakan oleh Komunitas Rabu Langit. Komunitas Akarpohon pun mengadakan
kenduri sastra yang diberi tajuk “Roah Akarpohon”. Terakhir, “Oktofest” yang diselenggarakan
dengan melibatkan komunitas yang lebih luas dan lebih banyak. Jangan pula
lupakan bagaimana media lokal NTB sejak tahun 2013 (Suara NTB dan Lombok Post)
sudah menyediakan ruang khusus sastra untuk mengakomodasi kerja kreatif sastra,
sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Ini hanya
sebagian kecil dari keberhasilan kerja komunitas sastra dalam proses
bertumbuhnya kultur sastra. Saya katakan sebagian kecil karena hal yang paling
esensial dari semua itu adalah terwariskannya semangat bersastra kepada
generasi yang lebih muda. Komunitas sastra telah menjadi wadah yang tepat untuk
membuat sastra bertumbuh secara alami. Komunitas sastra secara internal menjadi
“rumah” bagi para penulis pemula dan peminat kajian sastra untuk berkumpul dan
berkarya.
Dunia akademik yang Tumpul
Namun sayang,
komunitas sastra hanya bekerja sendiri. Di satu sisi, geliat komunitas sastra yang
semarak menjalar sampai ke tingkat sekolah-sekolah di NTB. Hal sebaliknya
terjadi pada dunia akademik (perguruan tinggi) yang seakan menarik diri dari
keramaian tersebut. Dunia akademik menjadi ruang kering dan tandus. Tidak ada
seminar-seminar, diskusi-diskusi, atau telaah kritis akademis bertajuk sastra. Padahal,
asosiasi profesi bidang sastra seperti HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia) dan ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) sudah terbentuk lama di NTB. Bahkan,
Dewan Kesenian NTB yang semestinya menjalankan peran sebagai wakil “rakyat
seni” guna memfasilitasi kesenjangan dari ruang akademik, tidak banyak membantu.
Praktis isu terakhir yang terdengar dari dunia akademik adalah ide tentang
Pergub Sastra yang tidak pernah ada tindak lanjutnya hingga sekarang. Pun Temu
Sastrawan NTB yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa NTB sejak beberapa tahun
terakhir lebih seperti acara seremonial daripada bentuk perhatian serius
terhadap kesusastraan itu sendiri!
Kondisi
bertolak belakang ini harus disikapi secara kritis. Sebab, menjadi aneh jika
melihat apresian dan penulis bertumbuh kian ramai, sedangkan kritikus sastra
justru tiada. Alhasil, karya sastra di dunia akademik hanya dibaca dan ditelaah
untuk memenuhi tugas kuliah atau hibah/proyek riset. Reduksi peran akademik ini
menggambarkan kelemahan mereka dalam merespons perkembangan sastra di wilayah
sendiri. Lebih jauh lagi, ini adalah bentuk kegagalan dunia akademik: miskin di
karya dan tumpul dalam analisis. Oleh karena itu, penulis dan sastrawan sangat
jarang lahir dari dunia akademik.
Tidak Seiring-Sejalan
Kondisi yang
tidak seiring-sejalan ini menandakan bahwa sastra NTB bertepuk sebelah tangan. Kondisi
ini tentunya tidak baik bagi keberlangsungan iklim sastra. Sudah selayaknya
antara para praktisi bersinergi dan saling mendukung dalam bekerja memakmurkan
sastra secara bersama-sama. Hal seperti ini telah lama diterapkan di daerah
lain. Misalnya, Universitas Gadjah Mada yang berinisiatif setiap bulan
mempertemukan para akademisi dan praktisi sastra dalam satu forum diskusi
ilmiah untuk membincangkan sastra. Beberapa karya milik sastrawan/penulis
dianalisis dan dikritik oleh mahasiswa berdasarkan teori kesusastraan yang
mereka kuasai. Dari sini terjadi dialog yang intens dan gesekan yang hangat antara
praktisi dengan akademisi sehingga perkembangan wacana sastra terbaru akan
bertemu dengan perkembangan teori sastra mutakhir. Alangkah indahnya jika iklim
sastra seperti itu bisa juga bersemi di bumi Nusa Tenggara Barat kita ini.
*Tulisan ini diambil dari Buletin Sastra Duntal, edisi 12, Agustus 2017. Dimuat di sini untuk kepentingan pendidikan dan pengetahuan.
******
*Muh. Ardian Kurniawan. Dosen Jurusan Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia di Universitas Hamzan Wadi, Selong Lombok Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar