*Dedy Ahmad Hermansyah
Cerita besar karya para penulis besar senantiasa berkisah tentang hal-hal sederhana. Barangkali kita menganggapnya remeh, namun abadi. Kisah-kisah itu seperti tak mati-mati, meski hanya berupa gambaran hidup pada waktu tertentu di masa lalu. Kita seolah merasa kisah-kisah itu terjadi baru-baru saja, tak jauh dari lingkungan kita. Meski ada kisah yang membawa kita pada tanah asing, budaya yang asing, tapi arusnya mampu menyeret kita ke dalam pusarannya. Merasakan liukan spiral alirannya. Kita tenggelam, sekaligus menyelam.
Begitulah kesan yang kudapatkan seusai membaca
sembilan buku kumpulan cerpen (kumcer) dari sembilan penulis besar: Honore de
Balzac (Gairah di Gurun); Guy de Maupassant (Kalung); Leo Tolstoy (Tiga
Pertapa); Fyodor Dostoevsky (Maling yang Jujur); John Walsgorthy (Pertemuan);
Rudyard Kipling (Angkong Hantu); Rabindranath Tagore (Tetanggaku yang Cantik);
James Joyce (Ibunda); dan Bret Harte (Gadis Lugu dari Sierra).
Sembilan buku
kumcer tersebut adalah satu paket Seri Fiksi Ilmiah yang diterbitkan oleh
penerbit Nuansa dan Jembar (enam buku dari penerbit Nuansa, tiga buku dari
penerbit Jembar). Buku-buku itu tidak tebal, tak ada yang lebih dari seratus
halaman. Malahan enam di antara buku itu berukuran kecil, serupa buku saku.
Cerpen-cerpen yang dipilih pun tidak banyak untuk masing-masing penulis. Mulai
dari dua sampai empat cerpen. Cerpen-cerpen yang diterjemahkan diupayakan yang
menjadi masterpiece masing-masing
penulis.
Bagi
pecinta karya-karya cerpen klasik dari penulis besar tadi, barangkali tidak
asing dengan beberapa judul cerpen yang telah disebutkan. Sekurang-kurangnya
aku sendiri paling akrab dengan karya empat penulis di atas. Sebut saja
‘Kalung’ Guy De Maupassant, Petani ‘Marey’ Fyodor Dostoevsky, ‘Rumah Misterius’
Honore de Balzac, dan ‘Berapa Banyak Tanah yang Diperlukan Orang ‘Leo Tolstoy.
Sementara karya dari lima penulis lainnya aku
relatif asing. Aku hanya pernah membaca syair Rabindranath Tagore, tidak novel
atau cerpennya. Karya-karya James Joyce yang aku kenal hanya Ulysses dan
Dublin, itu pun hanya pernah membaca salah satunya. Dua karya itu pernah
diterbitkan oleh penerbit Jalasutra. Tiga penulis sisanya aku benar-benar tak
menyentuh karyanya, nama mereka pun asing bagiku.
Kesederhanaan—seperti yang aku tulis pada
paragraf awal—adalah kisah yang membaluti cerpen-cerpen sembilan penulis tadi.
Kesederhanaan dalam artian kisah yang tak bertele-tele, tentang hal
remeh-temeh, kisah keseharian, yang bagiku sepertinya mudah untuk dituliskan
oleh penulis pemula. Tapi di tangan para penulis legendaris ini, kesederhanaan
menjadi begitu bercahaya, cemerlang, dan penuh makna.
Guy de Maupassant, penulis Prancis yang berguru
kepada sastrawan besar lainnya—Gustav Flaubert, membuat cerita yang selalu
mengejutkan kita pada bagian akhir. Kalung adalah cerpennya yang membuktikan
itu. Kisahnya tentang seorang wanita miskin yang menghilangkan kalung seorang
teman perempuannya sepulang dari suatu pesta. Untuk menggantikan kalung itu,
akhirnya ia dan suaminya harus berhutang dan bekerja keras bertahun-tahun.
Perempuan itu menjadi kurus. Padahal, di bagian akhir kisah disebutkan, kalung
yang ia pinjam itu hanya kalung imitasi.
Sebagian besar karakter cerita yang dibuat
Maupassant seperti itu. Lain Maupassant lain pula de Balzac. Penulis yang juga
berasal dari Prancis ini dikenal sebagai penulis yang erotik, melodramatik, dan
realis. Penulis andalan Marx ini menulis cerpen yang membuatku merinding. Aku
sangat menyukai ketiga cerpennya dalam buku kumcernya itu. Dimulai dari Rumah
Misterius yang benar-benar meremukkan tulang seusai membacanya. Ceritanya
tentang kisah asmara yang gelap antara seorang tawanan perang Spanyol dengan
Madame de Merret, istri seorang bangsawan. Saya merinding jika teringat bagian
kisah di mana sang tawanan itu harus terkurung di dalam kamar mandi istri sang
bangsawan. Sang suami memerintahkan pembantunya untuk membuat tembok kokoh yang
memagari kamar mandi istrinya. Istrinya sudah bersumpah, bahwa tak ada
siapa-siapa di dalam kamar mandinya.
Tapi ‘Gairah di Gurun’ adalah kisah paling
menggetarkan yang ditulis Balzac. Ceritanya tentang persahabatan seorang
tentara Prancis yang tersesat di padang pasir Mesir dengan seekor macan yang
cantik. Membayangkan manusia yang rapuh dengan hewan buas bersahabat sangat
intim jelas sesuatu yang mendebarkan. Di tangan Balzac, macan menjadi hewan
yang penuh gairah, sebagaimana gairah seorang manusia.
Tolstoy dan Dostoevsky. Penulis yang sama-sama
berasal dari Rusia. Membaca karya dua penulis legendaris ini membuat kita
merenung mencari makna. Karya-karya Tolstoy sarat dengan pesan-pesan moral. Di
sana ada filsafat dan religiusitas. Sebut saja ‘Berapa Banyak Tanah yang
Dibutuhkan Orang?’. Kisah ini menyajikan satu tema moral tentang keserakahan.
Seorang petani yang tak puas dengan jumlah tanah yang didapatkan, akibat
keserakahannya ia meninggal. Ia meninggal dengan tanah yang sangat luas, namun
pada akhirnya tanah yang benar-benar ia butuhkan hanya seukuran panjang
badannya sebagai kuburannya.
Dostoevsky
juga tidak jauh dari tema yang kerap dibentangkan Tolstoy. Batin manusia, itu
yang menjadi eksplorasi terbesar pengarang yang disebut beraliran
eksistensialisme ini. Tiga cerpen dalam kumcernya ini membawa pembaca masuk ke
relung batin setiap tokoh ceritanya. Yang paling kuat, menurutku, dari ketiga
cerpennya adalah Petani Marey. Kisahnya tentang seorang tawanan politik yang
dipenjara di Siberia, yang karena suatu pengalaman masa kecil, batinnya
tercerahkan, dan tak lagi memandang para tawanan lain yang berasal dari petani
buruh kasar dengan pandangan merendahkan. Pengalaman itu pun hanya berlangsung
sekilas. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia memiliki pandangan manusiawi yang
memandang petani sebagai manusia, bukan sebagai binatang. “Tak ada orang lain yang menyaksikan
perasaan-perasaan manusiawi yang halus dari seorang petani Rusia yang kasar dan
bebal.”
Rabindranath Tagore dan Ruryard Kipling. Tagore
kelahiran India, dan cerpen-cerpennya berkisah tentang kehidupan di India
dengan warna yang nyaris seperti mendongeng. Alurnya juga penuh kejutan.
Misalnya, Kerangka. Kisah tentang sesosok hantu perempuan yang cerewet yang
mengganggu tidur seorang anak kecil. Ia mengisahkan kepada anak kecil itu
perihal asmaranya di masa lalu dengan seorang mahasiswa kedokteran yang
berakhir tragis. Mahasiswa itu sekarang adalah guru yang dibayar untuk mengajar
sang anak tentang tubuh. Mahasiswa itu menggunakan satu kerangka tubuh manusia.
Dan ternyata, kerangka itu semasa hidup tak lain adalah perempuan kekasih sang
mahasiswa kedokteran tersebut.
Rudyard Kipling, betapa pun ia berkisah dengan
latar kehidupan di India, ia bukanlah orang India. Namun dalam cerpen-cerpennya
ini keeksotisan India, karakter-karakter tokohnya akan mampu membuat kita
bertahan membacanya, dan terhibur. Angkong Hantu adalah cerita cinta yang
tragis. Ada sedikit kekonyolan dan kegilaan di sana. Kisahnya tentang seorang
lelaki yang karena sebuah kesalahan di masa lalu hidupnya tak tenang. Ia gagal
menikah karena kekasih lamanya mati dan terus menghantuinya. Kekasihnya datang
dalam wujud hantu yang mengendarai sebuah angkong lengkap dengan pengawalnya.
Orang-orang sudah menganggapnya gila.
James Joyce
pengarang dari Irlandia. Ia disebut memiliki teknik menulis yang dikenal dengan stream of consciousness. Keempat
cerpen di dalam kumcernya barangkali mewakili warna tersebut. Keempat cerpennya
kental dengan latar Dublin—sebagaimana ia selalu hadirkan dalam semua
karya-karyanya. Ada kisah tentang seorang Ibu yang begitu ambisius dalam
membantu karier putrinya, tentang perempuan muda bernama Eveline yang belajar
membuat keputusan,tentang seorang remaja yang jatuh cinta dengan gadis yang
lebih tua darinya.
John Galsworthy dan Bret Harte. Karya-karya mereka di dalam kumcer mereka memang tak memiliki kemiripan, baik dalam tema mau pun gaya penceritaan. Galsworthy sedikit lembut, Bret Harte agak liar. Galsworhty berkisah perihal pertemuan sepasang kekasih di sebuah kedai teh, tentang pembuat sepatu yang hanya mau membuat sepatu yang terbaik meski harus dibuat dalam waktu lama, tentang pria pegawai perusahaan asuransi kecelakaan yang harus cekcok dengan istrinya setelah dia menolong seorang wanita miskin yang cantik.
Bret Harte kental dengan warna kehidupan
perkampungan-perkampungan orang-orang kecil. Kita disajikan dengan tokoh-tokoh
yang memiliki karakter unik, penuh semangat, meski menghadapi dan menjalani
hidup yang keras, kasar dan liar. Adegan liar tentang tembakan, pengusiran,
pelarian, kejar-kejaran mewarnai cerpen-cerpennya. Meski begitu, sebagaimana
telah dikatakan, karakter tokohnya penuh semangat. Jiwa beberapa tokoh
ceritanya penuh pengorbanan, persahabatan, dan tak kenal menyerah.
Membaca
kesembilan buku kumcer dari sembilan penulis besar ini membawa kita melintasi
ruang dan waktu yang jauh. Namun begitu, seluruh efek yang diberikannya seusai
membaca membawa kita kepada kemanusiaan yang tak kenal batas waktu. Memang
benar adanya kata-kata pengantar editor buku paket Seri Fiksi Klasik ini: “melalui teks-teks sastra, terkadang kita
disadarkan bahwa apa yang terjadi jauh di ujung dunia sana ternyata pada
hakikatnya memiliki makna yang relevan dengan apa yang terjadi dekat di sini,
dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, entah itu berupa persoalan
ketidakadilan, kisah cinta sepasang anak manusia, maupun ilusi-ilusi personal
seorang individu. Semua itu membalik kesadaran kita akan adanya sebuah pijakan
bersama di balik perbedaan-perbedaan yang tampak bahwa sesungguhnya kita adalah
satu dalam semesta kemanusiaan.”
Membaca karya
klasik, bagiku, selalu mampu membangun imajinasi yang membebaskan. Ia bukan
jenis cerita yang sekadar menghibur lalu lepas begitu saja dari ingatan dan
perasaan, sebagaimana biasa terkandung dalam banyak buku best-seller. Maka benarlah
kata-kata Italo Calvino, pengarang asal Italia, “alasan
utama membaca karya klasik adalah karena membacanya lebik baik daripada tidak
membacanya.”
*****
*Dedy Ahmad Hermansyah. Pustakawan di Komunitas Teman Baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar