*Iin Farliani
Telah banyak diulang persoalan kemiskinan pada pengantar di buku-buku Hamsad Rangkuti yang dicetak ulang, sehingga jika saya membicarakannya lagi dalam telaah sederhana ini, ibaratnya menggarami lautan. Rangkuman pembicaraan kemiskinan lazimnya terjebak pada sengkarut sekelompok manusia yang terperangkap dalam ketidakberdayaan. Wilayah yang seolah memancing kecaman moral kepada segala hal yang dianggap tidak seimbang. Sambutan yang kemudian diharapkan adalah munculnya semacam empati kepada mereka yang tertindas, mereka yang muskil menjangkau apa-apa yang berada di atas.
Telah banyak diulang persoalan kemiskinan pada pengantar di buku-buku Hamsad Rangkuti yang dicetak ulang, sehingga jika saya membicarakannya lagi dalam telaah sederhana ini, ibaratnya menggarami lautan. Rangkuman pembicaraan kemiskinan lazimnya terjebak pada sengkarut sekelompok manusia yang terperangkap dalam ketidakberdayaan. Wilayah yang seolah memancing kecaman moral kepada segala hal yang dianggap tidak seimbang. Sambutan yang kemudian diharapkan adalah munculnya semacam empati kepada mereka yang tertindas, mereka yang muskil menjangkau apa-apa yang berada di atas.
Meneropong
kemiskinan dalam bahasa ‘kelompok’ acap kali mengabaikan suara-suara pribadi.
Kesedihan sebagai sesuatu yang intim menjelma menjadi kesedihan yang umum. Kemiskinan
tampil sebagai sekedar rentetan yang melingkar-lingkar antara penindas dan yang
ditindas. Sehingga kemudian, kemiskinan yang dihadirkan bagaikan adonan
pengalaman yang meronta menuntut keadilan.
Apa
yang tertangkap oleh saya selama pembacaan karya Hamsad Rangkuti juga tak lepas
dari persoalan kemiskinan. Diterima atau dielakan, esai ini niscaya juga
menambah perbendaharaan perihal kemiskinan yang mendominasi karya Hamsad
Rangkuti. Apakah itu kemudian menutup pintu makna lain yang bisa dilihat dari
kemiskinan itu? Khususnya jika mengulik cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti, tidak
adakah sesuatu yang dapat jauh lebih diurai dari wilayah kemiskinan itu
sendiri?
Membicarakan
karya Hamsad Rangkuti, gambaran umum yang kemudian muncul adalah pertalian
karyanya dengan kehidupan pengarangnya. Lintasan hidupnya sebagai pendatang di
Jakarta telah membawanya pada realitas kemiskinan di gubuk-gubuk kere sepanjang
tepi Kali Malang, gubuk-gubuk pelacuran Planet senen, hingga berani menyingkap
gorden kamar-kamar perempuan penghibur. Kepindahannya itu menjadi bahan
rangsangan kreatif yang kuat untuk menghasilkan deskripsi yang lincah mengenai
kere-kere di gubuk kali, kejahatan kriminal di kota besar tanpa harus terjebak
ke dalam idea-idea “kemiskinan” yang lebih condong mengejar dramatisasi. Siapa
dapat tahan membaca cerpen yang penuh dengan demonstrasi penderitaan tanpa
adanya suasana sebuah dunia pribadi yang tetap terpelihara? Hamsad Rangkuti
adalah penulis yang jeli menangkap suasana pribadi itu sekaligus membuatnya
tetap terjaga hingga akhir cerita.
Kita
tak dapat melupakan misalnya tokoh aku dalam cerpen Perbuatan Sadis yang tidak dapat berbuat apa pun terhadap wanita di
hadapannya yang menjadi korban penodongan. Mulanya, pembaca seakan diberi ruang
untuk melepas kelegaan ketika si tokoh wanita memberitahu tokoh aku bahwa
kalung yang dirampas oleh dua perampok itu hanya kalung imitasi. Tetapi,
keadaan kemudian kembali menjadi genting saat dua pelaku itu kembali ke tempat
kejadian perkara lalu memaksa wanita itu menelan kalung imitasinya. Kegetiran
tidak selesai sampai di sana sebab cerpen ditutup dengan teriakan tokoh wanita
yang histeris mengatakan, “Tolong!
Tolong! Saya menelan perhiasan!”
Atau
kegetiran lain yang seakan menempatkan persoalan keberpihakan menjadi ambigu,
pada cerpen Cerita Awal Tahun,
setelah mendengar berita hanyutnya barang-barang berharga milik satu keluarga yang
menjadi korban kecelakaan, seorang kere bernama Tugimin berhasrat untuk
menemukan uang sepuluh ribu di antara tumpukan sampah yang melewati daerah
sungai tempat tinggalnya. Tugimin berhasil menggengam uang sepuluh ribu rupiah
itu, tapi ia tidak timbul lagi. Ia lenyap bersama benda-benda yang hanyut.
Ironisnya, mayat Tugimin dikabarkan sebagai mayat maling yang diduga tercebur
ketika melarikan diri dan polisi terpaksa memotong jari-jari mayat Tugimin agar
dapat dengan mudah mengamankan uang sepuluh ribu itu sebagai barang bukti.
Apakah kita akan menyalahkan Tugimin yang terlalu menuruti nafsunya sehingga ia
lupa bahwa ia sama sekali telah menukar nyawanya dengan perburuan uang sepuluh
ribu? Atau berpihak pada nasib tragisnya oleh sebab menyaksikan kesewenangan
polisi yang seharusnya dapat berlaku adil pada siapa saja? Keputusan ada di
sidang pembaca.
Jika
dua contoh cerpen di atas, problema kaum wong
cilik tergambarkan secara eksplisit verbal, lain halnya dengan cerpen Malam Takbir yang pelan-pelan menggiring
pada suasana keterharuan. Pada malam takbir, si tokoh aku duduk bersama lelaki
yang bekerja sebagai tukang kebun keliling di sebuah warung tepi jalan. Pada
saat berbuka puasa bersama, bola bulu ayam yang dimainkan dua anak perempuan di
depan warung jatuh ke dalam piring lelaki itu. Tokoh aku pura-pura tidak
mengetahui peristiwa yang sedang berlangsung dan si lelaki memberikan kembali
bola bulu ayam itu tanpa menghiraukan makanannya yang sudah tercemar bola bulu
ayam. “Dia menyuap nasinya seperti tidak
terjadi apa-apa. Anak perempuan itu tercengang melihat peristiwa itu. Dia
tampak seperti terpukau. Dia tampak tidak yakin dengan apa yang dia lihat.”
Hingga datanglah anak perempuan tadi bersama ibunya. Wanita itu memberitahu
bahwa anaknya menangis menceritakan peristiwa yang dialaminya dan meminta maaf
kepada lelaki itu. “…Ia menangis
menceritakannya. Katanya bola itu jatuh ke dalam got. Dipungutnya. Dipukulnya
dan jatuh ke piring bapak. Dia khawatir bapak akan sakit. Kami semua khawatir
Bapak akan sakit. Saya tidak ingin Bapak sakit karena kecerobohan anak saya.”
Menjelang
akhir cerita, tokoh aku meyakinkan si lelaki untuk menerima amplop yang
diberikan wanita itu sebagai rezeki dari Tuhan untuknya di malam takbir. “Dia tiba-tiba menangis. ‘Berhari-hari aku
mendatangi rumah-rumah orang yang biasa kubersihkan pekarangan mereka. Tiap
tahun aku mengecat rumah mereka menjelang Idul Fitri. Aku memangkas pagar hidup
pekarangan mereka. Tetapi Lebaran ini semua tidak kudapatkan. Mereka telah
mengubah pagar rumah mereka menjadi tembok dan besi. Rumah mereka juga sudah
dicat oleh orang lain yang bernasib sama seperti aku. Tak ada apa pun yang
tersedia untuk anak-anak menyambut Lebaran.”
Tak
ada kesan yang berubah meski saya telah berkali-kali membaca cerpen Malam Takbir, suasana keterharuan itu masih terasa seperti pada saat saya
membaca cerpen itu untuk pertama kali. Gambaran kemiskinan yang disajikan
Hamsad Rangkuti dalam karya-karyanya tidak hanya berhenti sebatas pelaporan
kejadian yang tersimak mata dan telinga. Namun, semuanya telah melalui
pengusutan yang lebih dalam sehingga kepenulisan Hamsad mampu menjangkau
penghayatan yang intensif di benak pembacanya.
Jika
kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember,
fenomena yang disampaikan di dalamnya tidak semata-mata letupan problematis
tokoh-tokohnya, melainkan juga memperhitungkan ekspresi artistik sehingga tidak
terjebak sebagai cerita yang “penuh air mata” sebagaimana yang lazim kita
temukan apabila persoalan kemiskinan menjadi sentral cerita, agaknya persamaan
bentuk pengucapan itu kita temukan juga dalam kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan.
Sebagian
besar cerpen yang terkumpul dalam Lukisan
Perkawinan menceritakan kaum perempuan sebagai pusat cerita dengan tokoh
aku (lelaki) yang berperan sebagai pengamat (Wanita
di Bawah Pohon, Perjalanan), pengimbang konflik (Muntah, Permintaan yang Aneh, Kesetiaan Itu, Kado Perkawinan),
atau ada juga yang menampilkan tokoh laki-laki sebagai sosok yang humble, menghargai wanita dengan bentuk
sikap yang manis (Salam Lebaran, Gunting
Pita, Upacara untuk Ibu). Dalam pengantar di buku ini, Hamsad Rangkuti mengakui
lahirnya cerpen-cerpen itu sebagian besar memenuhi permintaan tiga majalah
wanita. Redaksi tiap majalah wanita itu menghendaki cerpen-cerpen yang erat
kaitannya dengan kehidupan rumah tangga. “Jadi,
semua cerpen di dalam buku ini adalah karya-karya pesanan,” begitu katanya.
Lukisan
Perkawinan
menjadi karya yang tak boleh luput jika kita ingin membicarakan Hamsad
Rangkuti. Meski begitu, karena sebagian besar isinya tentang perempuan dan
rumah tangga, sempat terbersit kekhwatiran jika seandainya pembahasannya
menjadi terpeleset pada tulisan yang mencodongkan Feminisme. Sikap menghindar yang coba saya terapkan bukanlah untuk
mengelak dari kenyataan mengenai masalah kewanitaan yang banyak hadir di
dalamnya, melainkan tidak saya temukan sepanjang pengalaman saya membaca
cerpen-cerpen dalam kumpulan ini yang akan membuat terombang-ambing mengikuti
gelombang Feminisme. Dalam pandangan
dominan, gelombang itu nampak memiliki kecenderungan mempertentangkan
perampasan hak-hak wanita dan tak jauh-jauh dari ekspresi getir lagi nyinyir.
Justru nuansa demikian tidak kita dapati pada cerpen-cerpen di dalam kumpulan Lukisan Perkawinan ini. Oleh karenanya,
saya mendekati Lukisan Perkawinan
dengan sudut pandang yang lain. Tentu tak jauh-jauh dari kesan yang saya
dapatkan selama membaca. Dan kesan yang paling menonjol itu adalah perihal
dialog-dialog yang bertaburan hampir di seluruh cerpen.
Nuansa Ritme
Dialog
Melaui
obrolan ringan bersama penerjemah Nurul Hanafi, terlontar pendapat barangkali
kurangnya minat penulis Indonesia untuk mempelajari karya-karya drama
berpengaruh terhadap berkurangnya kemampuan untuk menciptakan kalimat yang
berefek dramatis. Hal ini berhubungan juga perbedaan pergaulan di zaman tahun
70-an dengan sekarang. Di tahun itu, pergaulan penulis dan dramawan dekat
sekali. Pergaulan itu turut menyumbangkan juga suatu gaya ucap yang berbeda
dengan karya-karya kontemporer. Nurul Hanafi memberikan contoh penggunaan
diksi-diksi dalam cerpen Motinggo Boesye, seperti misalnya kata “haruslah”,
“boleh merelakan dirinya”, “celakanya”, yang membangun efek dramatik pada
paragraf cerpen.
Saya
menjadi tertarik melebarkan pembicaraan bersama Nurul Hanafi itu untuk
menuangkannya menjadi suatu telaah cerpen karya Hamsad Rangkuti, agar tak
melulu mengamati melalui lensa yang sudah banyak dipakai orang, seperti
pembahasan isi kemiskinan yang hanya secara permukaan saja. Oleh karenanya,
lensa kemiskinan berganti menjadi lensa yang mencoba menguak segi estetika
dalam cerita.
Tidak
banyak cerita yang bertumpu pada dialog. Kalau pun dialog hadir di dalamnya,
kerap kali ia berada di garis belakang. Artinya tidak mendapat porsi yang lebih
untuk memunculkan kemungkinan yang akan secara luwes dan akrab mendorong aksi
tokoh-tokohnya agar terus menggerakkan cerita. Pilihan deskripsi menjadi lebih
dominan, sebab tentu proses penggambaran melalui deskripsi sangat kontras
dibandingkan dengan dialog. Deskripsi bergerak ke luar, sedangkan dialog
bergerak ke dalam dan ke luar. Menulis deksripsi seperti pembebasan diri, di
mana kita membiarkan segala unsur yang ada pada bangunan cerita memperoleh
gerak yang lebih leluasa. Beragam ekspresi, penyajian detail, hingga konflik
cerita seakan hadir begitu saja memanfaatkan keluasan ruang yang tersedia.
Sedangkan
menulis dialog, seumpama berada pada suatu wahana yang telah memiliki
garis-garis batas. Ia memadai apabila kita mengetahui bagian mana saja yang
mesti dieliminasi dan mengupas sedikit demi sedikit kalimat-kalimat yang tak
semestinya diikutkan dalam barisan. Semua bertujuan menunjukkan maksud atau
barangkali menyembunyikannya, seperti dimulai dengan kegelisahaan permukaan
tokoh-tokohnya hingga tiba pada sesuatu yang selama ini disembunyikan. Apakah
sesuatu yang disembunyikan itu berupa suasana hati yang murung, harapan-harapan
yang terpendam, atau suka duka lainnya yang terkandung diam-diam, semuanya
tentu memiliki pertalian dengan ucapan-ucapan yang dikeluarkan dari mulut si
tokoh. Bisa saja ia mengucapkan “saya
hari ini merasa baik” dengan diikutkan gestur kecil berupa kaki yang
diayun-ayunkan atau mungkin nada ucapan penuh keragu-raguan hingga tokoh lawan
bicaranya memberi tanggapan yang melahirkan asosiasi serupa dari beberapa
kalimat yang dilontarkan.
Kelebihan
wilayah dialog yang dapat dieksploarsi lebih jauh kerap kali tak hanya
menampilkan proses tek-tok antara satu tokoh dan lainnya, melainkan juga nuansa
kalimat yang mewakili gerak batin yang lebih hidup. Justru karena ia
tersembunyi atau disembunyikan, maka ucapan-ucapan tokoh yang sekedar
‘menyaran’ membayangkan secara tidak langsung gerak perasaan yang lebih
menyeluruh. Diksi-diski dalam dialog tidak saja memperkuat bangunan karakter
namun menimbulkan pula efek dramatik yang mungkin mengundang pada suasana
syahdu nan puitis.
Kesan
seperti itulah yang saya dapatkan selama mengikuti dialog antar tokoh dalam
kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti Lukisan
Perkawinan. Betapa susunannya kalimatnya seperti mengandung ritme sehingga
apabila kita mengucapkannya secara langsung akan terdengar seperti membaca
naskah drama. Simak kutipan berikut ini, Wanita
di Bawah Pohon:
“Aku mengenalnya!” kata pembantu
rumah mengulangi ucapannya. Dia meletakkan teropong di atas meja.
“Kau mengenalnya?” kataku.
“Ya, aku mengenalnya!”
“Apa yang membuat kau mengenalnya?”
“Bekas luka di keningnya. Wanita itu
memiliki bekas luka di keningnya.”
“Ya. Aku juga melihat bekas luka di
keningnya.”
“Wajahnya juga
kukenal dengan baik.”
“Maksudmu?”
“Wanita itu
kukenal. Aku mengenalnya seperti aku mengenal saudaraku sendiri. Dia kurasakan
seperti adikku sendiri.”
“Yang benar? Kau
jangan memancing-mancing perhatianku.”
“Buat apa? Buat
apa aku berdusta. Lagi pula apa untungnya?”
“Lalu, kalau kau
mengenalnya, apakah kau bisa mengetahui apa alasannya? Mengapa dia tidak mau
berteduh di bawah gedung ini?”
Dari dialog di atas kita dapat melihat adanya pengulangan beberapa kalimat. Pengulangan kalimat yang diucapkan antara dua tokoh itu masing-masing mengandung takaran ritme, jeda yang sempit antara kalimat yang satu dengan lainnya__baik yang diucapkan tokoh aku maupun tokoh pembantu rumah__ membuka peluang terciptanya ritme itu. Pengulangan kalimat-kalimat itu tentu bukan hanya untuk memberikan penekanan, namun ada juga upaya menghidupkan bagian tak terpisah dari maksud seorang tokoh mengucapkannya. Tokoh aku bertanya apakah tokoh pembantu rumah tangga itu mengenal wanita yang berteduh di bawah pohon. Tokoh pembantu rumah mengatakan bahwa ia mengenal wanita itu. Si aku memerlukan penjelasan lebih lanjut. Pembantu rumah berkeras menyatakan ia mengenal wanita itu. Rangkaian itu bergulir seiring dengan dialog yang perlahan-lahan mengupas siapa sebenarnya wanita di bawah pohon yang sedang mereka bicarakan itu.
Contoh
lainnya dapat kita lihat pada cerpen Kesetiaan
Itu:
“Tetapi mengapa kau tiba-tiba saja kawin, kami dengar di kampung?”
“Mengapa saudara
tahu?”
“Sukri bercerita
kepadaku!”
“Sukri tahu?”
“Sukri tahu!”
“Kapan dia
tahu?”
“Begitu kau
menikah!”
“... ia
bercerita ke seluruh kampung. Sukri tahu!”
“… Seorang
prajurit mencintaiku. Aku pun melupakan Sukri dan mencintai prajurit itu. Dia
bekerja. Dia memanggul senjata. Dia mempertahankan tanah air. Dia melindungi
negara. Dia melindungi rakyat. Apa salahnya aku mencintainya. Apa salahnya aku
mengurus hidupnya. Melahirkan anak-anaknya. Aku menerimanya. Aku istri
prajurit. Kami telah mempunyai tiga orang anak.”
“Tapi kulihat
kau menderita.”
“Kau hanya
melihat lahiriahnya saja!”
“Sukri
mencarimu, begitu kau menghilang. Kau mengkhianati cinta kalian.”
“Dia tidak
bekerja!”
“Pekerjaan yang
tidak mau kepadanya. Dia telah berusaha mencari pekerjaan itu.”
“Aku istri
prajurit. Aku ibu dari ketiga anak-anakku. Aku sudah melupakannya.”
“Tetapi kau
menderita. Kau miskin. Aku tahu gaji seorang prajurit.”
“Bersama Sukri,
aku mungkin akan lebih menderita. Lahir dan batin!”
Boleh jadi, jika dialog-dialog di atas itu diucapkan langsung, artinya pada proses membacanya kita tidak hanya mendengar suara yang ada di kepala tetapi suara yang dikeluarkan mulut, keseluruhan dialog-dialog itu menampilkan vokal yang mengandung ritme. Bahasanya lancar namun mengalami penyekatan dengan tidak adanya jeda antar beberapa kalimat dalam satu dialog sehingga ketatnya dialog mengalami pengereman dengan bermacam-macam intonasi. Saya kira setiap kali kita membaca buku, meskipun kita tidak melafalkan kalimat-kalimat yang sedang kita baca, tidak dapat disangkal setiap kalimat itu seperti memiliki intonasi sendiri yang bergaung di kepala kita selama proses pembacaannya. Itulah mengapa kita bisa merasakan sendiri bagaimana suatu kalimat bekerja menampilkan kesan sedih, bahagia, muram, ketakutan, dan sebagainya.
Ritme yang terkandung dalam dialog cerpen Kesetiaan Itu tidak saja ditimbulkan oleh kalimat penuh tanda petung, ia juga saya kira timbul dari diksi-diksinya. Diksi yang kemudian pada akhirnya menciptakan kesan yang lain, membawa pada suasana syahdu, sesuatu yang menurut hemat saya sulit didapatkan dalam dialog-dialog cerpen kontemporer. Apakah kesan syahdu itu berhubungan dengan situasi zaman tahun penulis itu menuliskan dialognya atau mungkin mengingatkan pada lagu-lagu dan film tempoe doloe yang pernah berjaya pada masanya, gaya ucap yang dihadirkan Hamsad Rangkuti dalam kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan ini jelas tidak hanya sekedar menunjukkan kedewasaan pengungkapan, tetapi juga memberi roh ke dalamnya.
Saya kutipkan beberapa kalimat yang mengandung corak diksi sebagai kelangsungan ekspresi pada beberapa cerpen Hamsad berikut ini:
“Suara kaumku akan selalu merampas perhatian kaum lelaki.”, “Yang dikatakan cantik itu adalah semacam cahaya dan yang jelek itu adalah gulita.”, “Buat apa aku berdusta.”, “Ah, Tuan terlampau melebih-lebihkan.”, “Aku mengidam hendak melembing kendi di atas kepalamu.”, “Dia keliru memandang diriku. Dia keliru!”, “Aku akan menyudahimu!”, “Kau terlambat kawan, aku telah menggaulinya.”, “Kau hanya melihat lahiriahnya saja!”, “Aku tidak melihat perbuatan tercela untuk itu.”, “Mengapa kau bergurau seperti itu?”, “Alangkah mengerikan kedengarannya.”, dst.
Diksi “kaum”, “gulita”, “dusta”, “terlampau”, “hendak”, “keliru”, “menyudahi”, “menggauli”, “lahiriah”, “tercela”, “bergurau”, “alangkah”, begitu kuatnya hadir tanpa mengada-ada dalam barisan dialog. Kuatnya diksi-diski itu juga menciptakan napas yang mengimbangi dengan nuansa ritme yang kemudian hadir.
Melihat nuansa ritme dialog yang hampir bertaburan di kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan menjadi salah satu pintu yang membuka ke dunia karya Hamsad Rangkuti. Mengapa kemudian nuansa ritme dialog yang menjadi salah satu pilihan untuk menghubungkan segi-segi lain pada karyanya? Apakah itu memang penting? Di manakah letak pentingnya? Mengapa Hamsad melakukannya?
Kita tak dapat menyangkal lahirnya suatu karya sastra juga tidak bisa terlepas dari berbagai hal eksternal yang melingkupinya. Penelusuran jejak nuansa ritme dialog yang ada pada karya Hamsad Rangkuti dapat dimulai dengan suatu tinjauan mengenai situasi pada masa karya itu ditulis. Menurut catatan tanggal di bawah masing-masing cerpen pada kumpulan Lukisan Perkawinan, tertera kisaran tahun 70-an hingga 80-an. Ada apa di tahun itu?
Kita bisa menyebutkan beberapa nama sastrawan yang karyanya tersebar kisaran tahun 70-an dan 80-an seperti W.S. Rendra, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Bakdi Soemanto, Arifin C. Noer, N. Riantiarno, Darmanto Jatman. Jika menguliti biodata sastrawan-sastrawan itu di samping yang memang menekuni penulisan puisi dan cerpen, mereka juga menulis lakon atau naskah drama. Putu Wijaya kita ketahui menulis naskah drama seperti Aduh, Dag Dig Dug. Mulai terjun, ke dalam kegiatan sandiwara ketika masih di bangku SMA. Ia aktif di berbagai pementasan drama di Yogyakarta kemudian bergabung ke dalam Bengkel Teater pimpinan Rendra. Kita ketahui pula, Putu Wijaya merupakan pendiri Teater Mandiri. Tak ketinggalan, bila menyebut N. Riantiarno kita akan condong ingat juga dengan TEATER KOMA yang didirikannya.
Sedangkan, jika menyebut Arifin C. Noer, selain puisi-puisinya, lakon-lakonnya yang tersiar adalah Sumur Tanpa Dasar, Kapai-Kapai. Selain itu, Kuntowijoyo yang paling kita kenal lewat cerpennya Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, turut pula menulis lakon di antaranya Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, Cartas, dan Topeng Kayu. Tak cukup sampai di sana, kita melihat juga Bakdie Soemanto yang pernah bergabung dengan Lingkaran Drama Mahasiswa Rendra ketika masih menjadi mahasiswa. Kemudian dalam perjalanannya ikut bergabung pula dengan grup Bengkel Teater pimpinan Rendra. Yang mengenal Darmanto Yatman melalui puisi-puisinya, ia juga menulis lakon dan semasa masih menjadi mahasiswa ia mendirikan grup Studi Teater Kristen dan menyutradarai pementasan seperti Perang Troya Tak Akan Meletus karya Jean Girodeaux.
Apakah gejala yang dapat dilihat melalui pemaparan biodata sastrawan-sastrawan yang karyanya aktif tersiar di tahun 70-an itu? Apakah dapat menjadi landasan kembara Hamsad dengan dialog-dialog cerpennya yang memiliki nuansa ritme? Apakah pengalaman penulis cerpen yang sekaligus juga merambah ladang penulisan lakon, meninggalkan corak gaya penulisan lakon itu pada cerpen-cerpennya? Saya hanya mengamati sejauh pengamatan saya dan tidak dimaksudkan untuk mengadakan studi tentang pengaruh situasi zaman dengan karya-karya sastrawan pada tahun itu.
Jika pergaulan sastrawan dan dramawan turut menyumbang pengaruh pada nuansa dialog-dialog cerpen pada masa itu, apakah hal itu berlaku pula pada karya-karya sastrawan lain pada zaman yang sama? Apakah itu hanya terlihat dalam dialog cerpen Hamsad Rangkuti? Apakah nuansa ritme yang hadir dapat menjadi gambaran bobot literer pada masa itu? Lalu, bagaimana perbandingannya dengan cerpen-cerpen masa kini? Saya tidak dapat memberikan kesimpulan, sebab selain tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjadi suatu studi literer yang menyuruk hingga ke sari yang paling inti dengan membeberkan sejumlah fakta yang kemungkinan menimbulkan sangsi sehingga dengan sendirinya akan diminta pertanggungjawaban, saya merasa ini hanya salah satu siasat untuk mendekati karya Hamsad Rangkuti.
Barangkali siasat itu timbul dari suatu pengalaman nostalgic, ketika saya masih sangat muda dalam mengenal dunia sastra, dua kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti Sampah Bulan Desember dan Lukisan Perkawinan menjadi semacam pembuka untuk menjelajahi dunia yang sarat oleh perpaduan kreativitas penyajian pengalaman empiris maupun intelektual itu.
Membandingkan dengan kondisi literer masa kini, yang saya temu dari banyak karya kontemporer sejauh pembacaan saya adalah betapa sangat jarang cerpen-cerpen yang hadir bertumpu pada dialog. Kalau pun ada, dialog-dialog tampil secara flat saja, artinya tidak kemudian menimbulkan nuansa yang sama seperti apabila kita membaca cerpen Hamsad Rangkuti. Betapa letupan dialog yang dijaga dengan ekspresi artistik sudah sangat jarang dapat ditemukan di cerpen-cerpen kontemporer. Membaca cerpen Hamsad Rangkuti merupakan pemenuhan terhadap pengalaman nostalgic itu. Setidaknya, yang dirindukan tiba-tiba terasa tak berjarak lagi.
Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan yang telah coba diajukan tidaklah mengharapkan memperoleh jawaban tunggal yang akan mendukung keseluruhan pendapat dalam tulisan ini. Bolehlah dikatakan, pendapat-pendapat itu sebagai titik jalur terbuka untuk merujuk pada segi-segi lain dari karya Hamsad Rangkuti yang luput terbaca. Barangkali juga diibaratkan dengan lamunan panjang yang seakan membiarkan pikiran mengembara di kesunyiannya dan membuka mata pada gerak yang tersembunyi. Kesunyian yang seperti dikatakan Hamsad Rangkuti bagai kesunyian di hutan rambung, merasakan sebuah nyanyian memilukan berkumandang.
Sabtu,
14 Oktober 2017
*Disampaikan pada diskusi "Membaca Hamsad" dalam acara OctoFest, Kamis 19 Oktober 2017, di Bale Ite.
******
*Iin Farliani. Lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram, dan santri di Komunitas Akarpohon.
*Disampaikan pada diskusi "Membaca Hamsad" dalam acara OctoFest, Kamis 19 Oktober 2017, di Bale Ite.
******
*Iin Farliani. Lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram, dan santri di Komunitas Akarpohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar