*Dedy Ahmad Hermansyah
Mungkin salah satu sebab
orang berbeda dalam memaknai cinta adalah umur. Usia tua berbeda dengan usia
muda dalam memahami cinta. Nah, bayangkan jika sepasang suami-istri berbeda
jauh dalam usia dan mengalami masalah dalam percintaan mereka. Bayangkan pula bagaimana
mereka menyelesaikannya, dan bagaimana mereka pada akhirnya menemukan makna
cinta bersama. Tema inilah yang disajikan Leo Tolstoy, pengarang besar Rusia,
dalam novel kecilnya ‘Rumah Tangga yang Bahagia’.
Pasangan berbeda umur itu
adalah Masha atau Marya Alexandrovna dan Sergei Michailich. Masha berumur 17
tahun, Sergei 36 tahun. Masha baru saja berduka atas meningalnya ibunya—ayahnya
telah meninggal sebelumnya. Yang tersisa bersamanya adalah Katya yang mengasuhnya
sejak kecil dan Sonya, adiknya. Sergei adalah sahabat ayahnya Masha, yang
mengatur segala urusan keluarga Masha setelah ayahnya meninggal.
Intensitas kedatangan Sergei
ke rumah Masha di desa sederhana, Pokrovskoye, perlahan menerbitkan perasaan simpati
dan berubah jadi perasaan cinta kepada diri Masha. Masha menyenangi pribadi
Sergei yang sederhana, yang bisa seriang anak-anak 10 tahun. Perasaan cinta itu
dikuatkan oleh ingatan akan kata-kata ayahnya dan Katya. Meski ia sendiri
merasa kata-kata itu sekadar main-main, namun ia kerap tersipu sendiri. Ayahnya
dan Katya pernah dalam waktu yang berbeda mengatakan bahwa Sergei cocok menjadi
suami Masha.
Pernah suatu kali, beberapa
lama setelah ayah Masha meninggal, Masha memainkan sonata Mozart, dan berhenti
di tengah-tengah nada. Katya dan Sergei yang berada di sana menontonnya
memiliki pendapat sendiri terhadap permainan Masha. Katya menganggap tidak
sopan memainkan nada dan mengakhirinya di tengah-tengah. Sergei, justru
sebaliknya, memuji permainan Masha. Betapa berbunga-bunga hati Masha. Ia tak
pernah mendengar pujian keluar dari bibir Sergei sebelumnya.
Kisah dan masalah cinta
mereka mulai terjalin dalam cerita sejak si Masha terkejut mendapatkan
kenyataan bahwa Sergei memiliki perasaan yang sama dengannya: jatuh cinta. Tak
lama kemudian, mereka pun menikah. Masha pindah ke desa suaminya, Nikolskoye.
Cinta pada musim pertama pernikahan mereka merekah dengan indahnya. Masha
mendapatkan pelajaran dari Sergei bahwa kehidupan yang bahagia itu adalah hidup
untuk orang lain.
Masalah mulai muncul saat
mereka mengunjungi St. Petersburgh. Masha terlena oleh kehidupan kota.
Menikmati sungguh acara-acara dansa bersama kalangan kelas menengah. Ia
mendapat pujian di sana. Perempuan seusianya iri kepadanya, laki-laki tertampan
mengelu-elukannya. Cinta Masha dan Sergei diuji di sini. Perlahan Masha
melupakan suaminya. Sementara Sergei cenderung memberi kebebasan kepada Masha,
meski hatinya sendiri mulai tersiksa. Sikap Sergei yang demikian itu membuat
Masha merasa suaminya tidak mempedulikannya. Di sisi lain, Sergei tetap
mencintai Masha, tapi sengaja membiarkannya hanya untuk menunjukkan
pandangannya kepada Masha: hidup perkotaan itu dangkal dan nir-makna. Di sini
lah perbenturan cara pandang dalam memaknai cinta di antara mereka berdua.
Masha, karena dicacah usia muda, ingin diperhatikan, ingin merasakan cinta yang
lebih, sementara Sergei hanya ingin hidup yang tenang. Di puncak
ketegangan mereka di kota, akhirnya mereka memutuskan kembali ke desa, ke rumah
Masha.
Di desa, mereka mulai
merenungkan kisah cinta mereka. Dalam satu kesempatan, mereka berbicara satu
sama lain, dan saling berbagi perasaan. Masa menumpahkan perasaannya, “Mengapa kau beri aku kebebasan yang aku
sendiri tak tahu bagaimana harus mempergunakannya? Mengapa kau berhenti
mengajariku? Sekiranya kau membimbing aku, tak kan pernah ada yang terjadi, tak
ada”. (hal : 125). Sergei hanya menanggapi dengan penuh kelembutan,
“setiap waktu punya bentuk cintanya sendiri-sendiri!” (hal. 127).
Masha merasa bahwa ia tak
akan pernah mendapatkan cinta Sergei seperti dulu. Sergei menanggapi, cinta itu
sebetulnya tak pernah berubah, yang berubah hanyalah caranya. Yang disesalkan
dari masa lalu mereka adalah kesalahan-kesalahan, bukan cinta. Cinta akan
selalu ada, hanya dengan bentuk yang berbeda. Akhirnya mereka memulai kehidupan
baru, dengan cinta baru yang perlahan tumbuh. Cinta yang ditujukan untuk
kepentingan bersama, juga untuk dua anak mereka yang mengisi kehidupan baru
mereka.
Boleh jadi kisah Masha dan
Sergei adalah kisah yang sangat sederhana. Tetapi karena ditulis dengan sangat
apik oleh seorang penulis sekelas Tolstoy, kisah ini menemukan semangatnya
tersendiri. Tolstoy berhasil menggambarkan dengan dalam perasaan dan gejolak
batin Masha—cerita ini menggunakan sudut pandang seorang Masha. Tolstoy dengan
sangat detail menggambarkan suasana pedesaan.
Novel dalam bahasa Indonesia
adalah terjemahan dari bahasa Inggris “A Happy Married Life”. Penulis (resensi)
menyarikannya dari penerbit Pustaka Jaya, cetakan kedua. Leo Tolstoy adalah
pengarang Rusia yang karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, termasuk Indonesia. Salah satu karyanya yang sohor adalah Anne
Karenina. Anne Karenina sendiri adalah cerita keluarga, yang konfliknya adalah
perselingkuhan. Anne Karenina telah difilmkan.
Bagi pembaca yang menyenangi
kutipan-kutipan menarik yang memikat, menginspirasi dan memotivasi, maka
membaca novel kecil ini adalah pilihan yang tepat. Susah untuk tak menemukan
kalimat-kalimat yang menohok dan indah dalam satu halaman, untuk kita jadikan
kutipan di status facebook, di twitter, atau di buku harian kita.
*****
*Dedy Ahmad Hermansyah. Pustakawan di Komunitas Teman Baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar