Kamis, 26 Oktober 2017

Puisi dan Gairah Sebuah Kota

*Esha Tegar Putra  




[Catatan ini dibuat untuk agenda diskusi Octofest 2017, 23 Oktober 2017, di Mataram, Lombok. Berangkat dari tawaran Kiki Sulistyo untuk membicarakan hubungan puisi dan proses penulisan puisi dengan kota. Saya memulai dari persentuhan saya dengan Padang. Melanjukan dengan contoh beberapa puisi dan peristwa puisi yang ditulia oleh beberapa penyair tentang kota. Tulisan ini hanya pembacaan awal untuk kemudian akan dilanjutkan kembali pembicaraannya di Padang dengan riset yang diupayakan lebih lengkap. Banyak karya-karya tentang kota di Indonesia yang tidak dapat saya runut dalam makalah ini. Mudah-mudahan mendapat pemakluman dari pembaca sekalian. Salam hangat.]



Beberapa tahun belakangan orang-orang gemar melakuan perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu dusun ke dusun lain, dari satu tempat recom m ended ke tempat recom m ended lain. Orang-orang menyebut tubuh mereka sebagai backpacker — tidak dapat dipadankan dengan pengelanaan. Dari satu lanskap ke lanskap lain mereka lipat ke dalam potret, disebar ke media sosial, dan gairah perjalanan mereka diterima oleh para backpacker lainnya. Suasana dihadapkan pada kacamata eksotisitas, sebuah lanskap dibekap dengan bantuan filter kamera dan berbagai aplikasi penjernih lain.  

Maka terhidanglah pada kita: pantai bersih dengan gadis molek berkacamata hitam duduk santai berselonjoran; potret orang berdiri di atas batu karang menjulang tinggi dengan latar laut jernih dan bukit kerang melingkar; gunung di tengah laut dihimpit dengan gelas wine; kaki (dan hanya kaki) kelihatan menjuntai di ujung biduk; dst. dan sudah barang tentu sepenggal ‘puisi’ mengiringi potret-potret tersebut dengan kekaguman teramat sangat terhadap lanskap daerah yang mereka kunjungi—untuk tidak mendekatkannya dengan puisi maka diistilahkan dengan caption. 

Secara garis besar saya ingin mengetengahkan gambaran bagaimana laku ‘puisi’ di tengah-tengah manusia kekinian. Sebelum masuk ke tawaran Kiki Sulistyo mengenai topik lanskap “kota sebagai sumber penciptaan” atau gerak perubahan kota dan bagaimana karya sastra berupaya mencari jalan untuk menjadi bagian dari ingatan kolektif—bermula dari ingatan personal, ketika karya hadir ia kemudian bergerak menjadi ingatan kolektif. Ternyata orang-orang masih butuh hidangan puisi berbarengan dengan bentangan lanskap yang dipajang di laman media sosial. 

Di bagian ini, lanskap dalam pandangan backpaker berbeda sangat dengan lanskap dari manusia penghuni dusun, penghuni kota, penghuni pulau, penghuni tanjung, dan semua juru tunjuk yang mengantar perjalanan para backpaker — manusia yang terlibat langsung dalam lanskap tersebut . Dari bagian ini saya ingin memulai perbincangan kita, bukan berarti saya sedang berupaya mencari perbandingkan laku backpacker dengan laku para penghuni sebuah tempat yang menjadi objek kunjungan backpacker , tapi lebih untuk mengetengahkan bagaimana gairah sebuah karya jika hadir dari manusia di lokus penciptaan karya itu sendiri. 


Di Padang, Apa Lagi yang Kau Cari?

Saya ingin menyitir judul buku kumpulan puisi Kiki Sulistyo dengan mengganti “Ampenan” dengan “Padang”. Ini upaya memberi pertanyaan pada diri saya sendiri, untuk kemudian memberi jawabannya di perbincangan kita ini. Apa lagi yang saya cari di Padang? Untuk saat ini (entah nanti) saya masih akan menjawabnya dengan: Puisi. Di setiap kali perbincangan dengan rekan-rekan soal puisi saya selalu mengetakan bahwa Padang begitu puitik bagi saya. Jika orang-orang di kampung saya menyebut “ bia saluang nan menyampai an ”  untuk segala sesuatu tentang Padang yang tidak dapat saya katakan di hadapan rekan-rekan sekalian, maka saya menyitirnya dengan “biarlah puisi yang menyampaikan”. 

Padang menjadi tempat ‘kelahiran baru’ bagi saya setelah perpindahan saya dari kampung di pinggiran danau Singkarak ke ibukota provinsi Sumatera Barat tersebut. Tidak ada yang saya bawa ke Padang saat mulai berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, tahun 2005, selain kekosongan. Saya anak kampung gagap teknologi (bahkan untuk menggunakan komputer), minim pengetahuan sastra, kondisi ekonomi sedang morat-marit dan hidup menumpang hingga dua tahun saya di Padang, dan sederet persoalan-persoalan lain yang saya bawa. Satu hal yang membuat saya dekat dengan Padang saat itu adalah kenangan masa kecil saya ketika mengunjungi kota tersebut bersama keluarga. 

Kenangankenangan ini kemudian hari saya rawat terus-menerus dan menumbuhkan kecintaan saya pada kota Padang dan berlanjut pada keasyikan menulis segala sesuatu tentang kota itu. 

Kerap, hingga saat ini apabila jalan-jalan keliling kota saya menempuh kembali jalur masa kecil saya. Melewati kembali jalan di belakang terminal—kini terminal menjadi plaza—hanya untuk mengingat bahwa adik laki-laki saya pernah meraung-laung minta dibelikan robot-robotan remot kotrol. Melewati daerah Tarandam di mana bus dari Padang ke kampung saya sering mangkal di pagi hari. Melewati sebuah hotel tempat saya dan orang tua sesekali menginap—dan kini hotelnya tidak lagi ada, cuma bangunan kosong bekas terbakar. Banyak tempat, banyak jalan, banyak kenangan yang saya rawat di Padang hari ini. 

Keberadaan saya di Padang kemudian hari membuat saya melawat jauh ke masa lalu. Ke masa di mana kota tersebut baru dibangun dan bertumbuh.



Lewat catatan sejarah, lewat karya sastra, lewat dokumentasi visual, semua membuat saya kian memantapkan diri bahwa sebuah kota musti dirawat dengan sepenuh hati sepenuh diri. Hingga hari ini, setidaknya 10 tahun sudah saya melihat Padang bertumbuh. Pada suatu ketika Padang hancur dirundung gempa, ketakutan-ketakuan isu tsunami, suasana kerukunan warga di Pecinan hingga demonstrasi massa berujung pembongkaran salah satu bangunan etnis Tonghoa, dll. Saya pernah membekap peristiwaperistiwa itu seemua dalam puisi. 

Banyak hal yang saya pelajari dari kota tempat ‘kelahiran baru’ saya itu. Saya berupaya membuka semua katup pengetahuan baru di sana. Saya menyisir kembali karya-karya sastra yang jauh hari sudah menulis tentang Padang. Mendengar lagi lagu-lagu Minang yang bersenandung tentang Padang. Kemudian hari saya mengingat Rusli Marzuki Saria dan Leon Agusta sebagai dua orang sepuh yang membuat saya turut mencintai Padang lewat puisi. Lewat lagu-lagu Oslan Husein, Elly Kasim, dst. Segala sesuatu yang terhubung dengan Padang saya coba susupi pelan-pelan untuk kemudian saya rebut menjadi puisi. Padang bagi saya adalah puisi itu sendiri, sebuah kota di mana semboyannya hadir lewat frasa puisi: Padang Kota Tercinta. Kecintaan saya sekaligus kekesalan bersabung setiap saat. Sampai saat ini. 

Saya memperhatikan proses pembangunan kota sejauh saya bisa memperhatikannya. Situs-situs hancur akibat bencana alam atau dihancurkan oleh manusia. Melihat betapa pembangunan merebut kenangan saya (barangkali kenangan banyak orang) dan pengetahuan saya tentang kota Padang, baik kenangan masa kecil, atau kenangan selama 10 tahun di sana. Di saat saya membenci kota saya, saya berupaya terus mencari jalan lain untuk mencintainya. Duduk di daerah Pondok (pecinan), minum kopi es di Kedai Hau di Jalan Tepi Pasang, melewati Batang Harau, membaui aroma rempah di Pasa Mudik—Pasa Gadang, menyisir jalur-jalur yang menurut saya sangat puitik. Hari-hari saya memang dihabiskan dengan cara seperti itu di Padang. Berleha-leha.  

Saya juga berupaya mencari jejak-jejak yang menghubungan karya sastra dengan Padang. Mengunjungi makam-makam penulis yang pernah berdomisili di Padang. Kekecewaan terkadang muncul ketika saya tidak dapat menukan situs-situs yang saya anggap penting. Misalkan ketika saya merasa kehilangan jejak rumah masa kecil pengarang Idrus. Saya berupaya menghubungi anaknya di Australia sana untuk sekedar mengetahui di mana posisi rumah masa kecil Idrus. Ketika saya melacaknya, saya menemukan bangunan ruko bertingkat tempat penjualan onderdil motor. Saya bahkan sampai mencari kuburan Idrus hingga kuburan Christiaan Benjamin Nieuwenhuis (1863-1922) seeorang fotografer kelahiran Amsterdam yang banyak memotret tentang Padang (dan daerah darek Minangkabau)—saya sudah berupaya mencari informasi dan sampai hari ini belum menemukan kuburannya. Kala suntuk, saya duduk di muara, melaju ke arah jembatan Siti Nurbaya, berkelok ke Gunung Padang hanya untuk masuk terus menerus ke dalam novel Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli. Begitulah Padang, begitulah saya dengan Padang. 

Proses bagaimana penulis merasa terlahir kembali di sebuah kota atau merasa kehilangan ‘sesuatu’ di sebuah kota selalu terjadi. Peristiwa itu dapat dilacak dalam beragam karya sastra di Indonesia. Penulis Lampung menulis tentang Tanjungkarang; penulis Jakarta menulis tentang sudutsudut Jakarta; penulis Sumatera Utara menulis tentang Medan, Kisaran, Tanjung Balai, Parapat, dst; Lombok, Ampenan, Denpasar, Yogyakarya, Makassar, dst. Problematika kota-kota tersebut dapat kita lacak di dalam karya sastra Indonesia.   

Saya menganggap proses menulis tentang kota itu sebagai beban dan tanggungan yang harus dikerjakan seorang penulis yang tumbuh di kota tersebut. Meski suatu ketika lomba-lomba puisi diadakan untuk merespon sebuah kota tapi dengan sigap orang-orang menghadirkan eksositisitas— tentu kita akan berterima kasih terhadap upaya menghimpun karya-karya yang ditulis mengenai sebuah kota dari satu periode ke periode lainnya; Di Atas Viaduct: Bandung dalam Puisi (2009), Yogyakarta Halaman Indonesia: Kumpulan Puisi (2016), dst. Puisi tentang kota merupakan respon terhadap perubahan sosial-kultural di kota tersebut, dokumen sosial kota tersebut, ingatan bersama mengenai kota tersebut.  

Sebagai contoh pertama, saya hadirkan bagaimana Rusli Marzuki Saria di tahun 1966 mendedahkan Bukittingi, kota masa mudanya, dalam sebuah puisi:


KOTAKU SAYANG, WAHAI KOTAKU 

Kotaku sayang, wahai kotaku
Kota punggung kaki Merapi dan Singgalang kuingat namamu
Berselendang awan mayang tumpas girang
Kotaku sayang, atas namamu telah undang : bencana perang saudara 

Pada tahun-tahun pertama, ya pada tahun-tahun pertama
Lewat gang-gang kota, jalan Kumidi, Pasar bawah, los daging 
pasar Teleng, betapa sepinya.
Kiranya kutahu ia sedang hamilkan sesuatu
Seperti Merapi yang berasap Singgalang bertelaga. 

Dengan celana pendek bertambal tanpa alas kaki
Kujalani lagi jalanan dulu dengan rindu
Bendi-bendi mendaki pedati-pedati yang merangkak
Kuda dan kerbau sudah jadi tua –
Wahai, sudah pulang petualang Muka keriput gigi ompong makin tua. 

Dengan terima kasih yang dalam sehabis rinai
Kutegur jam gedang bertahan dalam limbubu waktu
Senyum empuknya tak kenalku lagi
Pukul satu. 

Kukenal engkau kotaku, kukenal engkau
Barisan murid-murid sekolah, pawai kemenangan
Tugu dan Taman
Museum tak lagi bercerita seperti dulu:
Sitinjau laut
Sibayau-bayau
Rumah gedang penanti tamu. 

Kotaku, kusebut namamu
Kota pendiam dalam sejarah
Bagai de Kock dulu bangun benteng
Dan Westenenck minta blasting anak negari
Pembeli mesiu
Tapi engkau lestari kotaku
Terlalu pemalu dan sangat maklum. 

Idzinkan aku, kota kesayangan
Menyebut namamu sebagai ibu tak pendendam
Terima kembali gundahan rinda perjaka
Salam. 

Kukenal engkau kotaku, kukenal engkau
Di tahun-tahun terakhir ini juga aku bersamamu
Di tiap tikungan jalanmu tergantung slogan
Kita sudah mamah slogan itu?
Kita sudah ditidurkan slogan itu? 

Kota peramah kota pendiam, kotaku sayang
Adakah ia catat mulut dibungkem senjata
Adakah sejarah menyuruh diam? 

Ah, kotaku hamilkan sesuatu
Bagai ibu, kekasih sedang menunggu
Tapi, awan-awan bulu ayam pun bergantungan
Di tiap jendela dan pintu. 

Kota peramah kota pendiam, kotaku sayang
Jalan menanjak jenjang-jenjang kota
Nafas kuda bendi tinggalkan kandang
Engkau telah maklum makin pendiam
Salam padamu dari wargamu yang kesekian… 

1966 


Kita dapat merujuk ke kota lain, Yogyakarta. Bagaimana kota begitu berpengaruh terhadap kehidupan berkesenian, dan bagaimana kota direspon sepanjang masa dalam puisi. Dalam sebuah tulisan Muhidin M Dahlan (lihat “Puisi dan Penyair Yogyakarta: Kota dalam Puisi”), dapat kita baca bagaimana pernah suatu ketika di kota Yogyakarta penyair-penyair dikatakan bekerja lebih keras berkali-kali melebihi pedagang dan tukang batu. “Mereka beradu siasat untuk hidup selayaknya dalam kota yang terus berubah ini; kota yang mereka anggap sebagai bagian tubuh yang tak terpisahkan,” kata Muhidin.  

“Maka hadir ungkapan-ungkapan kerinduan, frase senja yang aneh, kesepian akut, dan pilihan untuk gamang dan mabuk masih bisa dengan mudah kita temukan dalam unggunan kata-kata penyair Yogyakarta—atau di kota mana pun”, lanjut Muhidin. Muhidin melacak sejak era kepenyairan Linus Suryadi, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Yogyakarta sudah berhadapan dengan masalah-masalah sebagaimana dihinggapi kota urban. Ia menganggap, jika kata-kata penyair serupa nubuat, maka ia bisa menjadi radar untuk melihat bagaimana kehidupan kota dan masyarakat di dalamnya. 


Saya pikir, apa yang dikatakan Muhidin tersebut berlaku untuk semua penulis yang pernah tinggal dan merasa tumbuh di sebuah kota dan merasakan denyut perkembangan kota tersebut. Dalam karya-karya penulis tersebut tersimpan pengharapan-pengharapan di balik perkembangan sebuah kota. Mereka yang pada saat mencintai sekaligus merasa paling terisih dan tersingkir di sebuah kota menuliskannya dalam baris-baris puisi. Jikapun karya sastra tidak dapat membekap seluruh dokumen sosial yang kita maksud. Tetapi ia sedang berupaya untuk menghadirkan ayun-gerak wacana kota pada suatu masa. 

Kita dapat melihat sebuah contoh lain bagaimana sebuah kota menjadi terikat dengan tubuh dan pikiran penyair. Sebagaimana juga saya menganggap Padang adalah kota ‘kelahiran kembali’, agaknya begitu juga dengan Indrian Koto menganggap Yogyakarta seebagai kota ‘kelahiran kedua’:


YOGYAKARTA: KELAHIRAN KEDUA  

I
di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan
 
begitulah mungkin kita bertemu
aku orang asing mencari persinggahan kau memberi
tempat yang nyaman.
 
kumasuki lorongmu seperti remaja yang jatuh cinta
masa lalu ditorehkan dalam grafiti
tertulis di tembok-tembok kota, di makam-makam tua
 
aku mendapati gempa yang singkat dan liar
seperti merapi, bibirku gemetar
aku melewati tenda pengungsian, jalan retak,
rumah ambruk dengan pikiran runtuh 

setelahnya, aku merisaukan hari depan
seperti dikurung abu dan gempa subuh
ia datang dengan banyak rencana
membangun tembok, menanam gedung, 
memanen warung cepat saji,
dan menyepakati masa depan dalam siasat ganjil 

seperti kekasih aku pun enggan melepasmu
aku merindukan nyala lampu, jalan sepi 
dan daun gugur di kota baru
dan code seperti perawan yang sedang tumbuh 
ketika subuh 


II

dari apa sebuah kota tegak berdiri?
jalan-jalan sempit
kendaraan penuh dan saling menjepit 

di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi
politik menjadi begitu nyaring dan lantang
lampu merah terus ditancapkan
sepeda seperti kenangan yang terus dihidupkan 

dari apa sebuah kota diciptakan?
orang-orang berbondong datang
aku mendengar makian di jalan-jalan
traffic light tak menyala, awas ada galian,
diskon murah, warung makan, demonstrasi, 
aturan-aturan basi
kekuasaan seperti terbuat dari pijar lampu dan gedung baru
masa depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh
 
dari apa sebuah kota dibangun?
rumah susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur
kota dikepung minimarket 24 jam
kedai malam impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu 

di kota ini aku merasa kembali dilahirkan
berebut tempat dengan kecemasan
politik seperti orang tua nyinyir dalam kerangkeng masa lalu 
2012  



Kota-kota Persinggahan

Keterbacaan seorang penulis barangkali memang berbeda dengan keterbacaan profesi lain terhadap sebuah kota tempat singgah. Saya sendiri terus bersikukuh untuk terus melirik karya sastra tentang sebuah daerah (atau sebuah kota), sebelum berkunjung ke tempat tersebut. Saya akan selalu terkenang pada sebuah karya sastra yang pernah saya baca ketika berkunjung ke sebuah kota. Ini sebuah kesenangan pribadi bagi saya. 

Ingatan-ingatan terhadap narasi dan peristiwa dalam karya sastra yang pernah dibaca mungkin benar akan terkenang ketika seseorang berkunjung ke kota tersebut. Hasrat seseorang untuk mengunjungi sebuah kota bisa jadi juga karena ketertarikan seseorang terhadap lanskap yang dihadirkan dalam sebuah karya sastra. Saya mencontohkan untuk kasus novel Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli. Setiap kawan berkunjung ke Padang maka ia bertanya pada saya mengenai di mana Siti Nurbaya dikuburkan (?). Seolah-olah apa yang terjadi dalam karya sastra tersebut benar adanya. Tapi memang begitu dominan imaji-imaji dalam karya tersebut bermain dalam ingatan pembaca. 

Seperti beberapa hari sebelum kunjungan saya ke Lombok, saya buta tentang Mataram, tapi sedikit mengingat imaji-imaji mengenai Ampenan dari puisi Kiki Sulistyo (atau puisi Sindu Putra dan kolofon karya-kawan yang bertuliskan Mataram); bangunan tua dan kesepian; pantai berbeda dengan pantai pada potret yang pernah saya lihat; gang-gang kecil; pasar; pelabuhan kehilangan masa lalu. Imaji-imaji itu muncul sebelum saya datang ke Mataram. Atau ketika saya pindah ke Jakarta, dalam bayangan saya juga hadir lanskap yang pernah ada dalam karya sastra—meskipun di tahun 2003-2205 saya berada di Jakarta tapi saya belum dekat dengan karya sastra. Setiap pulang nonton pertunjukan dari Taman Ismail Marzuki, meniki kereta di stasiun Cikini saya teringat puisi Goenawan Mohamad.  


CIKINI 

Syahdan, di kedai kembang itu dibelinya ros putih,
dan dituliskannya di secarik kartun: 'Aku
mencintaimu, kekal, seperti kucintai Audrey Hepburn' 

Tapi (di sini ia berhenti sebentar, batuk,
menutupkan krah jaket, dan berkata pada diri
sendiri), kapan tahun tak akan memburuk? 

Hidup mungkin sebuah bioskop, tapi tidak di jalan
ini. Cikini tetap terjepit juga di dekat pagi,
ketika gelap tak lagi penuh dari langit, 

dan dari stasiun kuning, terang lampu tampak
tirus seperti lewat cadar, dan ambulans menggeletar,
mengirimkan isyarat. 

Meski tak menyongsong apa-apa.
Ia juga tak akan berangkat.
Ia dan Maut ingin berdua, di utara. 
2004  


Saya juga pernah berkunjung ke kedai-kedai penjual bunga di sekitar Cikini untuk sekedar merasakan imaji dalam puisi tersebur hadir ke dalam diri saya. Hingga suatu ketika saya turut menulis puisi berkaitan dengan Cikini. Jakarta juga membuat saya terpaksa untuk menuliskan kota tersebut dengan cara ‘mencintainya’ terlebih dahulu. Suasananya Jakarta (dan Depok) tentu sangat jauh berbeda dengan di Padang sana. Di tengah keterasingan, penolakan diri saya terhadap berbagai hal, saya berupaya masuk dengan ‘bahasa’ saya sendiri. ‘Memandang’ dengan cara saya sendiri. Seringkali saya turut menemukan dan masuk ke dalam suasana puisi yang pernah ditulis Gratiagusti Chananya Rompas (yang banyak menulis tentang Jakarta), salah satunya: 


KOTA INI JATUH 

kota ini jatuh
ke dalam becek
tapi tak ada yang keberatan
semua tersenyum
bersama hujan waria memamerkan paha
yang licin berkilat kilat
sambil memutar mutar rokok
di antara jemari yang kokoh
abunya melekat
pada rok merah muda
kota ini lantai dansa
setidaknya trotoar ini
gemerlap dan licin
sinar laser menembus langit
lampu-lampu seperti pelangi
ada anak kecil berlari
dengan kaki telanjang
berpijar
seperti cahaya neon
kota ini telah minum terlalu banyak
dan wajahmu berseri-seri seperti reklame di halte bis 


Jadi, bagaimana merespon kota dalam penciptaan karya sastra, khususnya puisi? Jika kota sebagai sebuah persinggahan, sudah barang tentu kacamata penulis harus berbeda dengan kacamata backpacker dalam menuliskan caption di bawah hasil jepretan molek mereka tentang sebentang lanskap. Terlebih lagi ketika menghadapi kota tempat di mana kita merasa ‘dilahirkan kembali’, kota di mana cakrawala berpikir dibuka-dikatupkan kembali, kota dengan gairah hidup diapung-dibenamkan, kota di mana hasrat percintaan dibuat begitu mengharu-biru. Saya sendiri berupaya untuk tidak menulis dari sudutpandang eksotisitas, memandang tidak sebagai orang luar, tapi berupaya ‘mencintai’ terlebih dahulu kota tersebut— kerap deengan sendirinya eksotisitas tidak terelakkan. Meskipun pada akhirnya gerak pembangunan sebuah kota, kekesalan terhadap kebijakankebijakan politik para penguasa kota membuat saya terhenyak, saya berupaya mencari jalan lain untuk ‘mencintainya’.  


Depok — Mataram , 23 Oktober 2017

Tulisan ini khusus dipakai dalam salah satu sesi perbincangan di OCTOfest, Mataram, 23 Oktober 2017. Sesi ini didukung koleh Koalisi Seni Indonesia (KSI).


*****

*Esha Tegar Putra. Lulusan Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Kini sedang menempuh program Magister Ilmu Susastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia menulis puisi, prosa, ulasan sastra dan seni pertunjukan. Buku puisi terbarunya adalah Sarinah (2016). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar