*Esha Tegar
Putra
[Catatan ini dibuat untuk agenda diskusi Octofest 2017, 23 Oktober 2017, di Mataram, Lombok. Berangkat dari tawaran Kiki Sulistyo untuk membicarakan hubungan puisi dan proses penulisan puisi dengan kota. Saya memulai dari persentuhan saya dengan Padang. Melanjukan dengan contoh beberapa puisi dan peristwa puisi yang ditulia oleh beberapa penyair tentang kota. Tulisan ini hanya pembacaan awal untuk kemudian akan dilanjutkan kembali pembicaraannya di Padang dengan riset yang diupayakan lebih lengkap. Banyak karya-karya tentang kota di Indonesia yang tidak dapat saya runut dalam makalah ini. Mudah-mudahan mendapat pemakluman dari pembaca sekalian. Salam hangat.]
Beberapa tahun
belakangan orang-orang gemar melakuan perjalanan dari satu kota ke kota lain,
dari satu dusun ke dusun lain, dari satu tempat recom m ended ke tempat recom m
ended lain. Orang-orang menyebut tubuh mereka sebagai backpacker — tidak dapat
dipadankan dengan pengelanaan. Dari satu lanskap ke lanskap lain mereka lipat
ke dalam potret, disebar ke media sosial, dan gairah perjalanan mereka diterima
oleh para backpacker lainnya. Suasana dihadapkan pada kacamata eksotisitas,
sebuah lanskap dibekap dengan bantuan filter kamera dan berbagai aplikasi
penjernih lain.
Maka terhidanglah pada
kita: pantai bersih dengan gadis molek berkacamata hitam duduk santai
berselonjoran; potret orang berdiri di atas batu karang menjulang tinggi dengan
latar laut jernih dan bukit kerang melingkar; gunung di tengah laut dihimpit
dengan gelas wine; kaki (dan hanya kaki) kelihatan menjuntai di ujung biduk;
dst. dan sudah barang tentu sepenggal ‘puisi’ mengiringi potret-potret tersebut
dengan kekaguman teramat sangat terhadap lanskap daerah yang mereka
kunjungi—untuk tidak mendekatkannya dengan puisi maka diistilahkan dengan
caption.
Secara garis besar saya
ingin mengetengahkan gambaran bagaimana laku ‘puisi’ di tengah-tengah manusia
kekinian. Sebelum masuk ke tawaran Kiki Sulistyo mengenai topik lanskap “kota
sebagai sumber penciptaan” atau gerak perubahan kota dan bagaimana karya sastra
berupaya mencari jalan untuk menjadi bagian dari ingatan kolektif—bermula dari
ingatan personal, ketika karya hadir ia kemudian bergerak menjadi ingatan
kolektif. Ternyata orang-orang masih butuh hidangan puisi berbarengan dengan
bentangan lanskap yang dipajang di laman media sosial.
Di bagian ini, lanskap
dalam pandangan backpaker berbeda sangat dengan lanskap dari manusia penghuni
dusun, penghuni kota, penghuni pulau, penghuni tanjung, dan semua juru tunjuk
yang mengantar perjalanan para backpaker — manusia yang terlibat langsung dalam
lanskap tersebut . Dari bagian ini saya ingin memulai perbincangan kita, bukan
berarti saya sedang berupaya mencari perbandingkan laku backpacker dengan laku
para penghuni sebuah tempat yang menjadi objek kunjungan backpacker , tapi
lebih untuk mengetengahkan bagaimana gairah sebuah karya jika hadir dari
manusia di lokus penciptaan karya itu sendiri.
Di Padang, Apa Lagi yang Kau Cari?
Saya ingin menyitir
judul buku kumpulan puisi Kiki Sulistyo dengan mengganti “Ampenan” dengan
“Padang”. Ini upaya memberi pertanyaan pada diri saya sendiri, untuk kemudian
memberi jawabannya di perbincangan kita ini. Apa lagi yang saya cari di Padang?
Untuk saat ini (entah nanti) saya masih akan menjawabnya dengan: Puisi. Di
setiap kali perbincangan dengan rekan-rekan soal puisi saya selalu mengetakan
bahwa Padang begitu puitik bagi saya. Jika orang-orang di kampung saya menyebut
“ bia saluang nan menyampai an ” untuk
segala sesuatu tentang Padang yang tidak dapat saya katakan di hadapan
rekan-rekan sekalian, maka saya menyitirnya dengan “biarlah puisi yang
menyampaikan”.
Padang menjadi tempat
‘kelahiran baru’ bagi saya setelah perpindahan saya dari kampung di pinggiran
danau Singkarak ke ibukota provinsi Sumatera Barat tersebut. Tidak ada yang
saya bawa ke Padang saat mulai berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Andalas, tahun 2005, selain kekosongan. Saya anak kampung gagap
teknologi (bahkan untuk menggunakan komputer), minim pengetahuan sastra,
kondisi ekonomi sedang morat-marit dan hidup menumpang hingga dua tahun saya di
Padang, dan sederet persoalan-persoalan lain yang saya bawa. Satu hal yang
membuat saya dekat dengan Padang saat itu adalah kenangan masa kecil saya
ketika mengunjungi kota tersebut bersama keluarga.
Kenangankenangan ini kemudian hari saya rawat terus-menerus dan menumbuhkan kecintaan saya pada kota Padang dan berlanjut pada keasyikan menulis segala sesuatu tentang kota itu.
Kerap, hingga saat ini apabila jalan-jalan keliling kota saya menempuh kembali jalur masa kecil saya. Melewati kembali jalan di belakang terminal—kini terminal menjadi plaza—hanya untuk mengingat bahwa adik laki-laki saya pernah meraung-laung minta dibelikan robot-robotan remot kotrol. Melewati daerah Tarandam di mana bus dari Padang ke kampung saya sering mangkal di pagi hari. Melewati sebuah hotel tempat saya dan orang tua sesekali menginap—dan kini hotelnya tidak lagi ada, cuma bangunan kosong bekas terbakar. Banyak tempat, banyak jalan, banyak kenangan yang saya rawat di Padang hari ini.
Keberadaan saya di Padang kemudian hari membuat saya melawat jauh ke masa lalu. Ke masa di mana kota tersebut baru dibangun dan bertumbuh.
Lewat catatan sejarah, lewat karya sastra, lewat dokumentasi visual, semua membuat saya kian memantapkan diri bahwa sebuah kota musti dirawat dengan sepenuh hati sepenuh diri. Hingga hari ini, setidaknya 10 tahun sudah saya melihat Padang bertumbuh. Pada suatu ketika Padang hancur dirundung gempa, ketakutan-ketakuan isu tsunami, suasana kerukunan warga di Pecinan hingga demonstrasi massa berujung pembongkaran salah satu bangunan etnis Tonghoa, dll. Saya pernah membekap peristiwaperistiwa itu seemua dalam puisi.
Banyak hal yang saya pelajari dari kota tempat ‘kelahiran baru’ saya itu. Saya berupaya membuka semua katup pengetahuan baru di sana. Saya menyisir kembali karya-karya sastra yang jauh hari sudah menulis tentang Padang. Mendengar lagi lagu-lagu Minang yang bersenandung tentang Padang. Kemudian hari saya mengingat Rusli Marzuki Saria dan Leon Agusta sebagai dua orang sepuh yang membuat saya turut mencintai Padang lewat puisi. Lewat lagu-lagu Oslan Husein, Elly Kasim, dst. Segala sesuatu yang terhubung dengan Padang saya coba susupi pelan-pelan untuk kemudian saya rebut menjadi puisi. Padang bagi saya adalah puisi itu sendiri, sebuah kota di mana semboyannya hadir lewat frasa puisi: Padang Kota Tercinta. Kecintaan saya sekaligus kekesalan bersabung setiap saat. Sampai saat ini.
Saya memperhatikan proses pembangunan kota sejauh saya bisa memperhatikannya. Situs-situs hancur akibat bencana alam atau dihancurkan oleh manusia. Melihat betapa pembangunan merebut kenangan saya (barangkali kenangan banyak orang) dan pengetahuan saya tentang kota Padang, baik kenangan masa kecil, atau kenangan selama 10 tahun di sana. Di saat saya membenci kota saya, saya berupaya terus mencari jalan lain untuk mencintainya. Duduk di daerah Pondok (pecinan), minum kopi es di Kedai Hau di Jalan Tepi Pasang, melewati Batang Harau, membaui aroma rempah di Pasa Mudik—Pasa Gadang, menyisir jalur-jalur yang menurut saya sangat puitik. Hari-hari saya memang dihabiskan dengan cara seperti itu di Padang. Berleha-leha.
Saya juga berupaya mencari jejak-jejak yang menghubungan karya sastra dengan Padang. Mengunjungi makam-makam penulis yang pernah berdomisili di Padang. Kekecewaan terkadang muncul ketika saya tidak dapat menukan situs-situs yang saya anggap penting. Misalkan ketika saya merasa kehilangan jejak rumah masa kecil pengarang Idrus. Saya berupaya menghubungi anaknya di Australia sana untuk sekedar mengetahui di mana posisi rumah masa kecil Idrus. Ketika saya melacaknya, saya menemukan bangunan ruko bertingkat tempat penjualan onderdil motor. Saya bahkan sampai mencari kuburan Idrus hingga kuburan Christiaan Benjamin Nieuwenhuis (1863-1922) seeorang fotografer kelahiran Amsterdam yang banyak memotret tentang Padang (dan daerah darek Minangkabau)—saya sudah berupaya mencari informasi dan sampai hari ini belum menemukan kuburannya. Kala suntuk, saya duduk di muara, melaju ke arah jembatan Siti Nurbaya, berkelok ke Gunung Padang hanya untuk masuk terus menerus ke dalam novel Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli. Begitulah Padang, begitulah saya dengan Padang.
Proses bagaimana penulis merasa terlahir kembali di sebuah kota atau merasa kehilangan ‘sesuatu’ di sebuah kota selalu terjadi. Peristiwa itu dapat dilacak dalam beragam karya sastra di Indonesia. Penulis Lampung menulis tentang Tanjungkarang; penulis Jakarta menulis tentang sudutsudut Jakarta; penulis Sumatera Utara menulis tentang Medan, Kisaran, Tanjung Balai, Parapat, dst; Lombok, Ampenan, Denpasar, Yogyakarya, Makassar, dst. Problematika kota-kota tersebut dapat kita lacak di dalam karya sastra Indonesia.
Saya menganggap proses menulis tentang kota itu sebagai beban dan tanggungan yang harus dikerjakan seorang penulis yang tumbuh di kota tersebut. Meski suatu ketika lomba-lomba puisi diadakan untuk merespon sebuah kota tapi dengan sigap orang-orang menghadirkan eksositisitas— tentu kita akan berterima kasih terhadap upaya menghimpun karya-karya yang ditulis mengenai sebuah kota dari satu periode ke periode lainnya; Di Atas Viaduct: Bandung dalam Puisi (2009), Yogyakarta Halaman Indonesia: Kumpulan Puisi (2016), dst. Puisi tentang kota merupakan respon terhadap perubahan sosial-kultural di kota tersebut, dokumen sosial kota tersebut, ingatan bersama mengenai kota tersebut.
Sebagai contoh pertama, saya hadirkan bagaimana Rusli Marzuki Saria di tahun 1966 mendedahkan Bukittingi, kota masa mudanya, dalam sebuah puisi:
KOTAKU SAYANG, WAHAI KOTAKU
Kotaku sayang, wahai kotaku
Kota
punggung kaki Merapi dan Singgalang kuingat namamu
Berselendang
awan mayang tumpas girang
Kotaku
sayang, atas namamu telah undang : bencana perang saudara
Pada
tahun-tahun pertama, ya pada tahun-tahun pertama
Lewat
gang-gang kota, jalan Kumidi, Pasar bawah, los daging
pasar
Teleng, betapa sepinya.
Kiranya
kutahu ia sedang hamilkan sesuatu
Seperti
Merapi yang berasap Singgalang bertelaga.
Dengan
celana pendek bertambal tanpa alas kaki
Kujalani
lagi jalanan dulu dengan rindu
Bendi-bendi
mendaki pedati-pedati yang merangkak
Kuda
dan kerbau sudah jadi tua –
Wahai,
sudah pulang petualang Muka keriput gigi ompong makin tua.
Dengan
terima kasih yang dalam sehabis rinai
Kutegur
jam gedang bertahan dalam limbubu waktu
Senyum
empuknya tak kenalku lagi
Pukul
satu.
Kukenal
engkau kotaku, kukenal engkau
Barisan
murid-murid sekolah, pawai kemenangan
Tugu
dan Taman
Museum
tak lagi bercerita seperti dulu:
Sitinjau
laut
Sibayau-bayau
Rumah
gedang penanti tamu.
Kotaku,
kusebut namamu
Kota
pendiam dalam sejarah
Bagai
de Kock dulu bangun benteng
Dan
Westenenck minta blasting anak negari
Pembeli
mesiu
Tapi
engkau lestari kotaku
Terlalu
pemalu dan sangat maklum.
Idzinkan
aku, kota kesayangan
Menyebut
namamu sebagai ibu tak pendendam
Terima
kembali gundahan rinda perjaka
Salam.
Kukenal
engkau kotaku, kukenal engkau
Di
tahun-tahun terakhir ini juga aku bersamamu
Di
tiap tikungan jalanmu tergantung slogan
Kita
sudah mamah slogan itu?
Kita
sudah ditidurkan slogan itu?
Kota
peramah kota pendiam, kotaku sayang
Adakah
ia catat mulut dibungkem senjata
Adakah
sejarah menyuruh diam?
Ah,
kotaku hamilkan sesuatu
Bagai
ibu, kekasih sedang menunggu
Tapi,
awan-awan bulu ayam pun bergantungan
Di
tiap jendela dan pintu.
Kota
peramah kota pendiam, kotaku sayang
Jalan
menanjak jenjang-jenjang kota
Nafas
kuda bendi tinggalkan kandang
Engkau
telah maklum makin pendiam
Salam
padamu dari wargamu yang kesekian…
1966
Kita dapat merujuk ke
kota lain, Yogyakarta. Bagaimana kota begitu berpengaruh terhadap kehidupan
berkesenian, dan bagaimana kota direspon sepanjang masa dalam puisi. Dalam
sebuah tulisan Muhidin M Dahlan (lihat “Puisi dan Penyair Yogyakarta: Kota
dalam Puisi”), dapat kita baca bagaimana pernah suatu ketika di kota Yogyakarta
penyair-penyair dikatakan bekerja lebih
keras berkali-kali melebihi pedagang dan tukang batu. “Mereka beradu siasat
untuk hidup selayaknya dalam kota yang terus berubah ini; kota yang mereka
anggap sebagai bagian tubuh yang tak terpisahkan,” kata Muhidin.
“Maka hadir ungkapan-ungkapan kerinduan, frase senja yang aneh, kesepian akut, dan pilihan untuk gamang dan mabuk masih bisa dengan mudah kita temukan dalam unggunan kata-kata penyair Yogyakarta—atau di kota mana pun”, lanjut Muhidin. Muhidin melacak sejak era kepenyairan Linus Suryadi, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Yogyakarta sudah berhadapan dengan masalah-masalah sebagaimana dihinggapi kota urban. Ia menganggap, jika kata-kata penyair serupa nubuat, maka ia bisa menjadi radar untuk melihat bagaimana kehidupan kota dan masyarakat di dalamnya.
Saya pikir, apa yang
dikatakan Muhidin tersebut berlaku untuk semua penulis yang pernah tinggal dan
merasa tumbuh di sebuah kota dan merasakan denyut perkembangan kota tersebut.
Dalam karya-karya penulis tersebut tersimpan pengharapan-pengharapan di balik
perkembangan sebuah kota. Mereka yang pada saat mencintai sekaligus merasa
paling terisih dan tersingkir di sebuah kota menuliskannya dalam baris-baris
puisi. Jikapun karya sastra tidak dapat membekap seluruh dokumen sosial yang
kita maksud. Tetapi ia sedang berupaya untuk menghadirkan ayun-gerak wacana kota
pada suatu masa.
Kita dapat melihat sebuah contoh lain bagaimana sebuah kota menjadi terikat dengan tubuh dan pikiran penyair. Sebagaimana juga saya menganggap Padang adalah kota ‘kelahiran kembali’, agaknya begitu juga dengan Indrian Koto menganggap Yogyakarta seebagai kota ‘kelahiran kedua’:
YOGYAKARTA: KELAHIRAN KEDUA
I
di
kota ini, aku merasa kembali dilahirkan
begitulah
mungkin kita bertemu
aku
orang asing mencari persinggahan kau memberi
tempat
yang nyaman.
kumasuki
lorongmu seperti remaja yang jatuh cinta
masa
lalu ditorehkan dalam grafiti
tertulis
di tembok-tembok kota, di makam-makam tua
aku
mendapati gempa yang singkat dan liar
seperti
merapi, bibirku gemetar
aku
melewati tenda pengungsian, jalan retak,
rumah
ambruk dengan pikiran runtuh
setelahnya,
aku merisaukan hari depan
seperti
dikurung abu dan gempa subuh
ia
datang dengan banyak rencana
membangun
tembok, menanam gedung,
memanen
warung cepat saji,
dan
menyepakati masa depan dalam siasat ganjil
seperti
kekasih aku pun enggan melepasmu
aku
merindukan nyala lampu, jalan sepi
dan
daun gugur di kota baru
dan
code seperti perawan yang sedang tumbuh
ketika
subuh
II
dari
apa sebuah kota tegak berdiri?
jalan-jalan
sempit
kendaraan
penuh dan saling menjepit
di
sini aku nyaris tak mengenal kami lagi
politik
menjadi begitu nyaring dan lantang
lampu
merah terus ditancapkan
sepeda
seperti kenangan yang terus dihidupkan
dari
apa sebuah kota diciptakan?
orang-orang
berbondong datang
aku
mendengar makian di jalan-jalan
traffic
light tak menyala, awas ada galian,
diskon
murah, warung makan, demonstrasi,
aturan-aturan
basi
kekuasaan
seperti terbuat dari pijar lampu dan gedung baru
masa
depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh
dari
apa sebuah kota dibangun?
rumah
susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur
kota
dikepung minimarket 24 jam
kedai
malam impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu
di
kota ini aku merasa kembali dilahirkan
berebut
tempat dengan kecemasan
politik
seperti orang tua nyinyir dalam kerangkeng masa lalu
2012
Kota-kota Persinggahan
Keterbacaan seorang penulis barangkali memang berbeda dengan keterbacaan profesi lain terhadap sebuah kota tempat singgah. Saya sendiri terus bersikukuh untuk terus melirik karya sastra tentang sebuah daerah (atau sebuah kota), sebelum berkunjung ke tempat tersebut. Saya akan selalu terkenang pada sebuah karya sastra yang pernah saya baca ketika berkunjung ke sebuah kota. Ini sebuah kesenangan pribadi bagi saya.
Ingatan-ingatan terhadap narasi dan peristiwa dalam karya sastra yang pernah dibaca mungkin benar akan terkenang ketika seseorang berkunjung ke kota tersebut. Hasrat seseorang untuk mengunjungi sebuah kota bisa jadi juga karena ketertarikan seseorang terhadap lanskap yang dihadirkan dalam sebuah karya sastra. Saya mencontohkan untuk kasus novel Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli. Setiap kawan berkunjung ke Padang maka ia bertanya pada saya mengenai di mana Siti Nurbaya dikuburkan (?). Seolah-olah apa yang terjadi dalam karya sastra tersebut benar adanya. Tapi memang begitu dominan imaji-imaji dalam karya tersebut bermain dalam ingatan pembaca.
Seperti beberapa hari
sebelum kunjungan saya ke Lombok, saya buta tentang Mataram, tapi sedikit
mengingat imaji-imaji mengenai Ampenan dari puisi Kiki Sulistyo (atau puisi
Sindu Putra dan kolofon karya-kawan yang bertuliskan Mataram); bangunan tua dan
kesepian; pantai berbeda dengan pantai pada potret yang pernah saya lihat;
gang-gang kecil; pasar; pelabuhan kehilangan masa lalu. Imaji-imaji itu muncul
sebelum saya datang ke Mataram. Atau ketika saya pindah ke Jakarta, dalam
bayangan saya juga hadir lanskap yang pernah ada dalam karya sastra—meskipun di
tahun 2003-2205 saya berada di Jakarta tapi saya belum dekat dengan karya
sastra. Setiap pulang nonton pertunjukan dari Taman Ismail Marzuki, meniki
kereta di stasiun Cikini saya teringat puisi Goenawan Mohamad.
CIKINI
Syahdan, di kedai kembang itu dibelinya ros putih,
dan
dituliskannya di secarik kartun: 'Aku
mencintaimu,
kekal, seperti kucintai Audrey Hepburn'
Tapi
(di sini ia berhenti sebentar, batuk,
menutupkan
krah jaket, dan berkata pada diri
sendiri),
kapan tahun tak akan memburuk?
Hidup
mungkin sebuah bioskop, tapi tidak di jalan
ini.
Cikini tetap terjepit juga di dekat pagi,
ketika
gelap tak lagi penuh dari langit,
dan
dari stasiun kuning, terang lampu tampak
tirus
seperti lewat cadar, dan ambulans menggeletar,
mengirimkan
isyarat.
Meski
tak menyongsong apa-apa.
Ia
juga tak akan berangkat.
Ia
dan Maut ingin berdua, di utara.
2004
Saya juga pernah
berkunjung ke kedai-kedai penjual bunga di sekitar Cikini untuk sekedar
merasakan imaji dalam puisi tersebur hadir ke dalam diri saya. Hingga suatu
ketika saya turut menulis puisi berkaitan dengan Cikini. Jakarta juga membuat
saya terpaksa untuk menuliskan kota tersebut dengan cara
‘mencintainya’ terlebih dahulu. Suasananya Jakarta (dan Depok) tentu sangat
jauh berbeda dengan di Padang sana. Di tengah keterasingan, penolakan diri saya
terhadap berbagai hal, saya berupaya masuk dengan ‘bahasa’ saya sendiri.
‘Memandang’ dengan cara saya sendiri. Seringkali saya turut menemukan dan masuk
ke dalam suasana puisi yang pernah ditulis Gratiagusti Chananya Rompas (yang
banyak menulis tentang Jakarta), salah satunya:
KOTA INI JATUH
kota ini jatuh
ke
dalam becek
tapi
tak ada yang keberatan
semua
tersenyum
bersama
hujan waria memamerkan paha
yang
licin berkilat kilat
sambil
memutar mutar rokok
di
antara jemari yang kokoh
abunya
melekat
pada
rok merah muda
kota
ini lantai dansa
setidaknya
trotoar ini
gemerlap
dan licin
sinar
laser menembus langit
lampu-lampu
seperti pelangi
ada
anak kecil berlari
dengan
kaki telanjang
berpijar
seperti
cahaya neon
kota
ini telah minum terlalu banyak
dan
wajahmu berseri-seri seperti reklame di halte bis
Jadi, bagaimana merespon kota dalam penciptaan karya sastra, khususnya puisi? Jika kota sebagai sebuah persinggahan, sudah barang tentu kacamata penulis harus berbeda dengan kacamata backpacker dalam menuliskan caption di bawah hasil jepretan molek mereka tentang sebentang lanskap. Terlebih lagi ketika menghadapi kota tempat di mana kita merasa ‘dilahirkan kembali’, kota di mana cakrawala berpikir dibuka-dikatupkan kembali, kota dengan gairah hidup diapung-dibenamkan, kota di mana hasrat percintaan dibuat begitu mengharu-biru. Saya sendiri berupaya untuk tidak menulis dari sudutpandang eksotisitas, memandang tidak sebagai orang luar, tapi berupaya ‘mencintai’ terlebih dahulu kota tersebut— kerap deengan sendirinya eksotisitas tidak terelakkan. Meskipun pada akhirnya gerak pembangunan sebuah kota, kekesalan terhadap kebijakankebijakan politik para penguasa kota membuat saya terhenyak, saya berupaya mencari jalan lain untuk ‘mencintainya’.
Depok — Mataram , 23 Oktober 2017
Tulisan ini khusus
dipakai dalam salah satu sesi perbincangan di OCTOfest, Mataram, 23 Oktober
2017. Sesi ini didukung koleh Koalisi Seni Indonesia (KSI).
*****
*Esha Tegar Putra. Lulusan Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Kini sedang menempuh program Magister Ilmu Susastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia menulis puisi, prosa, ulasan sastra dan seni pertunjukan. Buku puisi terbarunya adalah Sarinah (2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar