Kamis, 19 Oktober 2017

Membaca Riwayat Benjor

*Itsna Hadi Saptiawan




Budi Darma dalam pengantar kumpulan cerpennya Orang-Orang Bloomington (1980) menyatakan bahwa setiap pengarang pada hakikatnya memperjuangkan tema. Yang lain-lain seperti bahasa, plot, karakterisasi, dan sebagainya hanya dapat ada untuk mendukung tema. Setujukah Anda? Silahkan beliau didebat. Namun bila dipikir lagi, tampak bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Seorang penulis belajar mengenali huruf, setelah itu belajar merangkai kata, menyambungnya dalam frasa, lalu membungkusnya sebagai kalimat dan seterusnya. Yang tetap melekat di pikirannya sedari awal adalah tema. Bahasa hanya alat mengemukakan pendapat. Karena itulah maka pada karya penulis pemula unsur-unsur selain tema terkesan eksperimental, kalau tidak mau menyebutnya norak dan ugal-ugalan. Alur, tipografi, persajakan, atau karakterisasi merupakan barang mentah yang coba diolah oleh seorang penulis pemula menjadi sajak atau cerpen. Hasilnya, wallaahualam.

Terminologi ‘coba-coba’ ini yang lalu layak dipertanyakan. Karena sastra merupakan bangun bentuk dan isi, pada sisi mana terminologi ini layak disematkan? Apakah pada bentuknya yang inovatif, ataukah pada isinya yang cenderung bombastis?

Saya terdiam sejenak. Saya memahami, sebagai orang yang pernah lalai atas tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengajaran di sekolah dan kampus, tidak mudah menemukan justifikasi yang tepat bagi setiap vonis yang diberikan kepada karya-karya para penulis pemula. Ini hanya salah satu dari sekian istilah yang ditempelkan ke jidat anak-anak itu. Dan tidak dapat disangkal jika beberapa alasan yang menyebabkan munculnya istilah ini berkaitan erat dengan ketidaksamaan teori dan praktik. Jauh panggang dari api. Atau pada tingkatan yang sarkastik, ketidakmampuan para penulis pemula memenuhi kualitas super pada karya yang dihasilkannya.

Pada Bayu, saya speechless. Budi Darma turut memberikan pengakuan, Bro! Apalah arti saya yang tidak punya satu cerita pun untuk dipamerkan. Membaca satu persatu cerpen dalam kumpulan miliknya membuat saya hendak mengenyampingkan deduksi pada tiga paragraf yang awal. Saya rasa, beberapa orang memang terlahir lebih matang dalam hal keahlian bercerita, sedang yang lain terlahir prematur untuk mencela cerita orang itu. Persis seperti yang saya lakoni sekarang.

Jadi apakah Bayu seorang yang eksperimental seperti diusulkan oleh premis di atas? Atau tidakkah sebaiknya kita hanya mengambil dua silabe akhir dari terminologi tersebut? Nah untuk memahaminya, mari membaca terlebih dahulu.

Secara tematik, kumpulan cerpen berjudul Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-cerita milik Bayu berkutat pada konflik batin tokoh-tokohnya. Tidak benar-benar semuanya sih. Tapi dari lima belas cerpen yang terdapat di dalamnya, kita dapati nada yang sendu, muram, dan ironis. Mungkin karena konsekuensi karakter yang dilekatkan kepada tokohnya lantas Bayu memilih gambaran demikian. Pada Benjor, Pistol dan Sebutir Peluru, cerita seperti berada di dunia yang surealis dan absurd dalam konflik batin pengarang sendiri. Perloncatan alur atau perulangan periodik peristiwa yang dialami oleh Benjor yang menderita insomnia berat membuat kita sebagai pembaca ditawari pilihan pengandaian adegan yang sesuai dengan tingkat pengalaman kita perihal rasanya diteror oleh rasa kantuk.
Dari kanan: Itsna Hadi Saptiawan (pembedah), Baihaqy (moderator),
dan Bayu Pratama (penulis buku kumcer 'Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-Cerita)

Di ruang yang lain, Bayu menghadirkan realisme dengan atribut yang menertawai nasib tokoh. Mungkin ini yang dimaksud oleh Budi Darma sebagai humor berbasis salah pengertian. Rumah Jompo, Lelaki yang Sering Tersesat, serta Lampu Merah bisa jadi kandidat yang cocok untuk karakteristik ini. Pada nasib tokoh yang tragis, beberapa hal dapat menjadi bahan tertawaan. Seorang aku di sebuah panti jompo yang galibnya ternyata pengguna kaki palsu maupun pemuda pikun yang mencelakai diri sendiri demi sampai di rumah sakit untuk menjenguk ibunya adalah sebuah gambaran ketidakwarasan yang cerdas dari cara memilih nasib untuk tokoh. Pun untuk seorang pemuda yang tidak acuh atas keterlambatan di hari pernikahannya, bisa menjadi penanda bahwa Bayu memang sedang menuju predikat pandega dalam hal olahan konflik batin tokoh.

Tidak main-main, sebagian besar peristiwa di dalam kumcer Bayu dimulai dengan konflik. Menyelisihi anggapan bahwa pemula mengawali dengan alur yang kaku, Bayu tampaknya memiliki perbendaharaan yang cukup untuk mengatur komposisi sehingga cerita mengalir tanpa perlu ada konjungsi-konjungsi yang ekspilit untuk menyambung tahapan peristiwa. Dan bagusnya, ia lihai menjaga suspense di sepanjang cerita, memberikan satu atau dua pembayangan (foreshadowing) perihal nasib tokoh. Lalu, di elemen kejutannya mengakhiri cerita dengan telak lewat sedikit saja teks baik dalam bentuk kata, kalimat, maupun paragraf.

Sebagai pembaca yang baik, adalah sebuah keharusan untuk membaca sebuah cerpen hingga tuntas demi meraih gambaran yang utuh perihal struktur yang ada. Dan Bayu seperti memahami kesabaran para pembacanya itu, sehingga ia bermain teka-teki di sepanjang cerita, menjalin satu demi satu petunjuk, sampai kemudian menutup cerita dengan peristiwa yang di beberapa cerpen berbeda dengan harapan saya selaku pembacanya. Ia berhasil di elemen kejutan ini, meskipun pada Penjaga Menara dan Agama Paling Pagi Bagi Laki-laki metode mengakhiri cerita ini tidaklah sesukses cerpennya yang lain.

Yang kentara sekali disoroti oleh Bayu dalam kumpulan ini ialah perihal karakterisasi para tokohnya. Sebagian besar mereka merupakan orang-orang yang kalah dalam satu atau banyak episode hidupnya. Benjor yang tidak bisa tidur, Benjor yang pikun dan tuli, Marko yang hanya bisa meratapi pertikaian istri dan ibunya, Maja yang bingung perihal frasa kebenaran setelah mengambil air dari bejana tempat wudhu demi memberi minum kambingnya yang kehausan, pemuda pikun yang buta arah, hingga penyesalan seorang TKI menjelang ajal kesemuanya berkutat pada persoalan pilihan yang membuat para tokohnya terjebak pada satu kondisi, kehendak yang tidak terpenuhi.

Sering, Bayu merasa perlu menerjemahkan langsung karakterisasi yang diinginkannya dengan menjadi aku/saya di dalam cerita. Dari lima belas cerpen yang ada, sepuluh diantaranya menggunakan sudut pandang ini. Di kesempatan lain sering pula Bayu melihat berbagai kekalutan pada tokoh dengan jarak cukup renggang sebagai pengamat saja. Posisi ini memberikan kelebihan karena Bayu dapat berada di mana pun dan mengelola kondisi apapun. Ia dapat pula berperan sebagai siapa saja di dalam model sudut pandang ini dan mengeksplorasi konflik dengan bersandar pada tokoh yang dominan. Eksperimen yang variatif terlihat pada Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-cerita. Pada cerpen ini, Bayu menggunakan lima sudut pandang sekaligus. Meski tidak mampu meningkatkan kualitas konflik antartokoh secara signifikan, variasi ini mengingatkan saja pada teknik yang pernah digunakan oleh Orhan Pamuk dalam My Name Is Red.

Pengucapan yang dramatik muncul pada cerpen-cerpen dengan dialog yang padat. Pada Penjaga Menara misalnya, dialog antartokoh tercecap sebagai dialog drama yang diprosakan. Ekpresi singkat ditambah kesan kaku pada watak tokoh seperti menjelaskan bahwa konstruksi ini perlu penambahan nebentext (teks samping). Mirip-mirip drama gitu lah. Rentetan dialog semacam ini tapi lebih panjang dapat kita nikmati pada Pakaian Kulit. Cerpen ini hanya terdiri dari empat narasi deskriptif, selebihnya adalah dialog yang bersahutan antara laki-laki, wanita, dan pelayan café. Sebaliknya pada cerpen dengan narasi yang lebih luas Bayu lebih bebas menggunakan pilihan kata tanpa perlu terikat dengan pengucapan yang platonik.[1] Misalnya dalam Rumah Api, jadilah Bayu berkutat dengan diksi seksisme yang eksplisit. Tidak yang naturalisme karena adegan-adegan di dalamnya diperhalus oleh narasi, bukan dengan percakapan yang vulgar. Demikian pula pada Rumah Jompo, Sementara Tiga Orang Terus Bersama, serta Hantu Penunggu Lampu.


Keterikatan cerita sejak cerpen pertama hingga yang kelima belas bertumpu pada karakterisasi yang identik. Situasi inilah yang mendorong kemiripan suasana di sepanjang alurnya. Pada beberapa cerpen, jalinan peristiwa menjadi ambigu dengan tingkah para tokohnya yang bertolak belakang dengan nasib yang akan menimpa mereka. Nilai positif dari hal ini bisa jadi adalah pengarangnya tidak ingin berperan sebagai sutradara mutlak atas segala takdir tokohnya. Maka ia biarkan saja. Mau buntung atau beruntung, memang itu yang seharusnya. Seperti itu.  


Pendekatan Psikologi Sastra

Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Bedanya, dalam sastra gejala-gejala kejiwaan dan batiniah tersebut bersifat imajinatif (Farida, 2006). Dalam hubungannya dengan Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-cerita pendekatan ini digunakan untuk lebih memahami sikap pengarang terhadap masalah utama yang terdapat di dalam cerpen. Tokoh berikut perwatakannya sangat penting, begitu pun muatan konflik yang diusung dalam sebuah cerita. Namun menilik pada kecenderungan Bayu di dalam kumpulan ini, tampaknya psikologi pengarang dapat dijadikan sebagai satu topik analisis yang menjanjikan di masa yang akan datang.

Kentara sekali bahwa masalah utama dalam kumpulan ialah pergulatan batin tokoh. Artikulasi konflik jenis ini biasanya menyaran pada pusaran kehendak yang tidak tuntas, yang mana para tokohnya memendam sumbu yang tidak sampai terbakar habis. Ia sekedar menyala lalu dipadamkan oleh pengarang atau tokoh lain. Dalam kasus ini, lebih sering Bayu yang melakukannya. Ia cenderung menurutkan atau membiarkan begitu saja nasib tokoh tanpa usaha keras atau peristiwa ajaib untuk membalikkan nasib mereka menjadi lebih menyenangkan untuk dibaca. Jadinya latar suram atau suasana naas menjadi pembenar atas klimaks yang hendak ia ciptakan.

Dalam Gondola, saya sangat ingin sekali membaca bahwa pada akhirnya ada rombongan pemadam kebakaran yang datang menyelamatkan tokoh dari ancaman maut. Dari situ saya terhipnotis untuk mencari peristiwa sejenis di kehidupan nyata dan kejadian tersebut ada, bahkan fotonya saya unduh dari Mbah Google demi memuaskan hasrat bawah sadar saya bahwa tokoh itu harus selamat. Lihat bukan, betapa obsesifnya saya. Tapi Bayu tidak fair, ia benar-benar psikopat persis seperti tokoh dalam Rumah Api. Ia menghina intuisi rendahan saya dengan membiarkan para tokoh di dalam ceritanya menerima nasib yang telah ia gariskan. Maka “tess” menjadi ajal bagi sang TKI malang. Buruknya lagi, derita ini direspon oleh tokoh itu dengan lelucon yang satiris: Ya sudah lah, semoga rasanya tidak terlalu sakit. WHAT THE FU**???



Pada Sementara Tiga Orang Terus Bersama dan Hantu Penunggu Lampu, Marko dan Sang Hantu berperan sebagai laki-laki dari dimensi yang berbeda dengan para tokoh perempuan di dalamnya. Ada tiga sampai empat tebakan untuk memaknai jalinan plot pada cerpen yang pertama. Pertanyaan mendasarnya ialah, siapa Marko? Atau apakah Marko itu? Anda akan kesulitan merumuskan cerita jika tidak berusaha untuk terlebih dulu mengidentifikasi tokoh ini. Terlebih, Marko dalam cerpen tersebut bukanlah sebuah entitas fisik. Lantas bagaimana formulasi emosi terhadap sosok yang tidak terjamah pancaindra?

Pun demikian dalam Hantu Penunggu Lampu. Ada suatu penyimpangan tindakan dari tokoh istri yang seperti tidak dipahami oleh tokoh Kau. Muaranya terletak pada masa lalu yang tidak dapat diperbaiki oleh tokoh Kau, persis seperti yang juga dihadapi oleh Marko. Jika dalam cerpen yang pertama masih terselip tanya perihal jati diri laki-laki yang menjadi bapak dari bayi yang dikandung oleh Nani, pada Hantu Penunggu Lampu usaha memahami penokohannya tidaklah sesulit cerpen sebelumnya.

Dalam kumpulan ini, seperti ada kesadaran dalam diri tokoh-tokohnya bahwa mereka pada prinsipnya dapat membelokkan alur menjadi seperti yang diinginkan oleh para pembaca. Mereka berpikir, membatin. Dan di dalam pikiran-pikiran tersebut ada niatan untuk mengubah situasi yang sedang dihadapi menjadi lebih baik. Secara akal sehat, mereka mampu untuk keluar dari konflik-konflik tersebut. Yang tidak mereka sadari adalah bahwa Bayu tidak ingin mereka menemukan jalan keluar itu. Mereka harus tetap di garis susahnya hingga akhir cerita. Mereka adalah korban sejak awal, dan harus tetap seperti itu.

Jadi ada apa dengan Bayu? Saya sendiri tidak yakin bahwa foto profil Facebook dapat menjadi indikasi kesehatan mental seseorang. Bisa jadi badut hanya salah satu visualisasi ikonik yang menjual seperti halnya Slipknot. Sosok yang di satu sisi lucu dan menghibur, namun di sisi lain psikopat bukan main. Asumsi ini jelas bukan sesuatu yang ilmiah. Namun meraba-raba dari apa yang tampak dapat menjadi salah satu acuan dasar dalam memahami tendensi pikiran dan perilaku seseorang. Lagipula itu halal, bukan?

Saran saya terkait pembacaan lebih lanjut terhadap cerpen-cerpen di dalam kumpulan Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-cerita terkait dengan pilihan pendekatan yang lebih sesuai untuk memahami kerangka ceritanya. Sosiologi dapat menjadi salah satu pertimbangan, namun itu rasa-rasanya akan garing karena hanya akan menyentuh sisi permukaan saja. Psikologi lebih tepat karena pendekatan ini menjangkau langsung pada analisis pikiran tokoh baik yang terpendam maupun yang tersampaikan oleh pengarang. Adapun psikologi pengarang sejatinya sebagai komplementer semata sebab tokohlah yang secara tekstual bergelut dengan nasibnya di dalam cerita.


Tak Ada Bayu yang Tak Semilir

Plausibilitas merupakan salah sebuah istilah yang dikenal dalam kaidah pemplotan[2]. Istilah ini menyaran pada logika suatu cerita. Masuk akal atau tidaknya sebuah cerita dalam konsep plausibilitas bergantung pada variabel kesesuaian antara realitas empiris dengan realitas literer cerita bersangkutan. Realitas empiris tentu saja adalah kenyataan yang kita hadapi sehari-hari yang kemudian dimodifikasi oleh pengarang menjadi fakta cerita yang disajikan di dalam karya sastra. Hubungan antara keduanyalah yang menjadi dasar bagi seorang pembaca untuk menilai hubungan logis antara struktur cerita dengan situasi yang kurang lebih sama di dalam kehidupan nyata.


Banyak penentangan atas kaidah ini dengan argumentasi bahwa ranah imajinatif sastra bebas dari konstruksi ideal yang ada di kehidupan nyata. Itu mungkin benar, tapi tidak betul-betul amat. Penyebabnya adalah karya sastra, khususnya prosa dan drama terikat pada watak/perwatakan serta alur yang mau tidak mau bercermin pada komunitas terdekatnya. Sebab karya sastra, seperti dikemukakan oleh seorang tokoh, tidak lahir dari kekosongan budaya. Oleh sebab itu maka ia membentuk dunia dalam dirinya dengan mengimitasi anasir-anasir dunia nyata yang sepadan dengan kerangka cerita. Karena itulah maka latar dapat dikoreksi, alur cerita dapat dikoreksi, tokoh dan penokohan dapat dikoreksi, termasuk pula gaya bahasa yang digunakan baik oleh tokoh maupun pengarangnya.

Kaidah ini bermaksud menemukan penyimpangan dari apa yang seharusnya (preskriptif). Itu pun subjektif karena satu atau dua pembaca belum tentu menemukan pola yang sama di dalam cerita. Pembelajaran paling gampang tentang hal ini bisa terlihat ketika kita menonton film, atau contoh terjeleknya, sinetron-sinetron Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan dalam film/sinetron biasanya dikenal dengan sebutan blooper. Buka saja di Youtube, ada banyak sekali kekeliruan pada film yang dapat dikupas mulai dari kostum pemain, musik, hingga periode cerita yang tidak sesuai. Di Indonesia, anakronisme dalam sinetron bahkan menjadi-jadi. Luarrrr biasahhhh vangkee!!!

Plausibilitas dalam cerpen realis mungkin terasa lebih kaku ketimbang saudaranya yang lain semisal surealis atau yang bernada psikologis. Dalam cerpen realis kelogisan cerita dapat beraneka ragam seperti logika dari segi pengetahuan umum, psikologi tokoh, konsistensi cerita, latar peristiwa, kausalitas, serta kewajaran cerita[3]. Walhasil, logika cerita yang beraneka ragam ini pada prinsipnya bersifat kontekstual bergantung pada tendensi serta horizon harapan pembacanya. Adapun pada Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-Cerita, karena pengarangnya tidak sungguh-sungguh mengunci diri pada realisme, pemahaman akan logika cerita di dalamnya pun tidak akan sevariatif yang pertama.

Beberapa gangguan literer pada kumpulan ini, setelah pembacaan beberapa kali, sebetulnya remah-remah semata. Tapi ini penting untuk disampaikan. Di samping sebagai pembelajaran bagi saya, pandangan ini juga penting dalam rangka brainstorming. Yang pertama ialah kesan keceplosan pada karakter Benjor karena adanya pergantian pronomina dari aku ke saya dalam Penjaga Menara (hal. 13). Mengapa keceplosan? Karena pertukaran itu hanya terjadi satu kali pada dialog yang berurutan langsung, sedang pada dialog-dialog yang lain Benjor selalu menunjuk dirinya dengan kata ganti saya, bukan aku.

Berikutnya pada cerpen yang sama ialah pertukaran interjeksi yah antara Benjor dan Jorben dalam dialog yang berurutan. Hal ini memunculkan spekulasi dalam diri saya perihal pemilik sah ujaran ini karena bagaimanapun yah bukanlah ujaran biasa seperti ‘ya’ atau ‘tidak’. Ia unik, penanda perwatakan tokoh. Jorben mengucapkan interjeksi ini kali pertama yang kemudian diikuti oleh Benjor yang mengulang interjeksi ini sebanyak empat kali pada dialog-dialog berikutnya. Oleh karena Jorben yang mengucapkan ini pertama kali, saya sebenarnya berharap bahwa dialah yang lebih banyak menggunakannya. Namun sebaliknya, Benjorlah yang lebih banyak memakainya.

Pada cerpen Pakaian Kulit, di paragraf yang kedua (hal.73) diceritakan bahwa orang-orang tidak memedulikan sosok wanita yang telanjang di taman. Orang-orang berjalan santai..Dua orang sibuk mengatur anak-anaknya yang berlarian kesana-kemari. Ada juga penjual terompet yang terus meniup terompetnya. Di seberang jalan ada sebuah café yang terlihat cukup ramai. Atau memang selalu ramai.

Jika memang benar orang-orang itu tidak acuh, atau tokoh maupun pengarang memang sengaja tidak memasukkan tanggapan dari figuran lainnya, mengapa begitu berada di café kemudian ketelanjangan itu menjadi masalah? Tidak adakah yang menegur sedari awal? Lalu di dua kalimat akhir diceritakan café terlihat cukup ramai (h.73 p.2), tapi mengapa sesaat setelah perempuan telanjang tersebut pindah kesana tiba-tiba café menjadi sepi? Secepat itukah para pengunjung café yang awalnya ramai tiba-tiba mengosongkan tempat duduk mereka?

Yang selanjutnya mungkin terdapat pada cerpen Lampu Merah. Pertama, tiga orang tokoh yang ditegur oleh aku memberikan respon yang sama yakni menatap lurus, kemudian menanggapi saran dari aku dengan mengatakan bahwa ia tidak ingin melanggar aturan. Dalam atmosfer kekesalan yang sama dengan kepentingan yang berbeda seorang pria berkumis, wanita penjual sayur, dan seorang suami yang istrinya hendak melahirkan bersikap sama persis. Saya agak ragu menerima kebetulan ini. Kecuali bahwa pengarang dalam hal ini hendak menciptakan pola perilaku yang paradoks yakni mengeluh akan suatu nasib namun enggan memilih jalan keluar yang ditawarkan, seolah-olah para tokoh sampingan ini hanya dikondisikan untuk menguatkan karakter tokoh aku.

Setelah itu ada adegan iring-iringan kendaraan yang luar biasa panjang sampai-sampai tokoh aku dapat menghabiskan dua bungkus kerupuk, pergi ke minimarket membeli kopi, membayar kopi di kasir, lalu kembali lagi ke jalan sambil menyeruput kopi dan ternyata antrian masih lama. Lalu ia kembali menyeruput kopi sampai habis, ditelepon oleh seseorang namun ternyata iring-iringan kendaraan belum juga selesai. Skenario ini membuat saya membayangkan bahwa yang dikawal saat itu adalah para pemimpin dunia beserta para menterinya. Saya jadi menghitung-hitung waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan dua bungkus kerupuk, jumlah kerupuk di setiap bungkusnya, apakah kerupuknya garing/lembek atau keras, berapa meter jarak dari jalan ke minimarket, seberapa ramai pembeli di minimarket, kopi yang dibeli panas atau dingin, berapa gelas/botol kopi yang dibeli, apakah saat membayar di kasir ada antrian atau tidak, saat kembali ke jalan tidak adakah kendaraan yang mengurangi lajunya, hingga berapa lama ia duduk di atas motor menghabiskan kopinya.

Tidakkah terselip sedikit saja rasa gelisah mengingat saat itu ia hendak menikah? Apakah ia benar-benar tidak peduli dengan kesakralan waktu itu? Menyesalkah ia dengan pilihan hatinya? Betulkah ia tidak tahu di lampu merah mana ia berada saat itu? Sampai segitunya saya ngelantur, Boy! Aku dalam cerpen ini adalah sosok yang betul-betul tidak acuh pada dirinya sendiri.  Saking tidak acuhnya, ia sampai malas membandingkan kegentingan urusannya dengan tiga orang tokoh lain yang ia persilahkan untuk maju terlebih dahulu melalui lajur kiri. Sosok yang luar bisa baik!

Yang terakhir, seperti yang telah saya keluhkan di bagian tengah tulisan ini ialah pertolongan yang tidak kunjung datang terhadap TKI yang sedang menghadapi maut ketika gondola yang ia naiki untuk membersihkan kaca gedung tiba-tiba mengalami putus kabel. Di bagian ini yang jahat adalah Bayu, sedang tokohnya adalah seorang yang terlampau bodoh. Seharusnya Bayu dapat berbaik hati dengan mengijinkan hadirnya suasana panik pada orang-orang yang mungkin menyaksikan insiden putus kabel itu. Tapi Bayu sungguh jahat, meskipun di bawah gondola telah ramai oleh para pekerja, tidak sekilaspun telinga mereka mendengar seruan minta tolong dari atas. Hambatan bahasa mungkin logis karena Sang TKI Naas meminta tolong dengan bahasa Indonesia. Tapi hambatan situasi rasa-rasanya tidak demikian. Di mana-mana ekspresi panik akan menghindari mimik tersenyum, demikian pula teriakan seseorang lengkap dengan gestur dan kabel gondola yang hampir putus pasti akan menimbulkan reaksi yang sejalan dengan situasi yang terjadi di atas. Tapi sebegitu apatiskah para pekerja di Jepang?

Karoshi adalah tragedi yang sering terjadi pada pekerja-pekerja di Jepang. Tapi dalam kasus TKI kita, peristiwa itu jelas tidak masuk kategori karena ia mati bukan akibat memaksa diri untuk bekerja terus menerus melainkan karena Bayu memang menginginkannya bernasib seperti itu. Untuk melampiaskan kekesalanlah maka saya sumpahi saja kesialan tokoh itu dengan mengatakan bahwa di alam yang lain, Detective Conan mungkin menganggap bahwa tragedi yang menimpanya adalah akibat terlalu rajin bekerja. Semoga dosa-dosanya diampuni.



Last but not least, terlepas dari penolakan saya akan ending di beberapa cerpen, yang membuat kumpulan ini istimewa ialah bahwa ia mampu membuat kita terus terjaga untuk membaca hingga akhir. Kumpulan Cerpen Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-Cerita merupakan satu warna tematik yang baru setelah sebelumnya saya mendapati corak yang berbeda dalam Kebaikan Istri milik Budi Afandi. Karakteristik yang mengemuka pada karya Afandi, seperti diisyaratkan oleh judulnya, ialah tentang perempuan. Hanya empat buah cerpen di dalam kumpulannya yang tokoh utamanya lelaki, selebihnya perempuan. Pun di dalam empat cerpen yang ditokohi lelaki itu, yang menjadi penegas suspense di dalamnya ialah perempuan. Tidak lain dan tidak bukan. Selaras sekali dengan desain bunga-bunga pada sampulnya. Sacre Feminin.

Sedang pada kumpulan milik Bayu, saya mendapati bahwa ia lebih fokus pada konflik batin tokoh. Daya tariknya jelas berbeda. Lebih-lebih lagi ketika mendapati bahwa pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalamnya tidak selalu mengemuka secara kronologis. Ini benar-benar merupakan hal yang baik bagi perkembangan kualitas penulisan cerpen bagi Bayu sendiri maupun komunitas tempatnya bernaung sebab bila menilik rentang waktu publikasi kelima belas cerpen di dalamnya, saya merasa sungkan untuk melontarkan sedikit saja kekecewaan. Rasa-rasanya syak wasangka saya bahwa Budi Darma yang dimaksud di sampul belakang kumpulan ini adalah KW 1 sungguh tidak beralasan dan berpotensi mengandung ujaran kebencian. Hahaha. 

Sudahlah, Salam Benjor!






[1] sepenuhnya spiritual, bebas dr nafsu berahi dan cinta: cinta -- , cinta kasih tanpa nafsu; kritik -- , kritik yg mencari nilai sebuah karya sastra lebih banyak dl kualitas ekstrinsiknya dp dl karya sastra itu sendiri.
[2] Diperkenalkan oleh Peter Ludwig Berger.
[3] https://ceritamini.wordpress.com/panduan-tugas/logika-cerita/


*Makalah ini disampaikan pada acara "Diskusi Buku Benjor, Opera Sabun, dan Cerita-Cerita (kumpulan cerpen Bayu Pratama)" di OctoFest, Selasa 17 Oktober 2017, di Bale Ite.


*****


*Itsna Hadi Saptiawan. Alumni Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Unram. PNS di Kantor Museum Negeri NTB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar