Rabu, 25 Oktober 2017

Bila Pramoedya Menulis Korupsi

*Nurhady Sirimorok




“Saya baru baca satu karya Pramoedya Ananta Toer, Korupsi.” Begitu kata kawan saya, seorang peneliti Perancis. Ia mengenang pertemuannya dengan buku ini sebagai pengalaman yang mengesankan. Dan dari kisah perjumpaannya dengan Korupsi, saya belajar satu hal lagi dari sang novelis, Ia memang tukang nujum yang lihai.

Di tahun 1981, Denys Lombard menerjemahkan Korupsi ke dalam bahasa Perancis. Karya ini rupanya sampai ke tangan seorang penulis Maroko yang sudah lama bermukim di Perancis, Tahar Ben Jelloun. Ketika sang novelis membaca karya ini ia langsung tertarik. Begitu terinspirasinya sehingga ia kemudian berpayah-payah menulis ulang karya ini, mengubah konteksnya menjadi konteks Maroko, jadilah L’Homme Rompu.

Dalam edisi bukunya Ben Jelloun menuliskan bahwa bukunya adalah saduran karya Pramoedya Ananta Toer. Dan keputusannya tak keliru. Bukunya dicintai publik Maroko hingga laku keras jauh lebih laris dari versi bahasa Perancis, terjemahan Denys Lombard, dari mana versi itu disadur. Ledakan versi Ben Jelloun inilah yang mendorong kawan saya memburu karya asli Pramoedya. Ia akrab dengan bahasa Indonesia, Ia Christian Pelras.

Mengapa buku ini bisa laku keras bahkan di negeri jauh? Ada yang universal sekaligus unik dalam buku ini. Universal karena menceritakan hal yang manusiawi: pertarungan menuju eksistensi dan kenyamanan hidup; dan unik karena sudut pandang dari mana Pram menyampaikan ceritanya.

Korupsi bermula dari keluhan Bakir, seorang kepala bagian sebuah kantor pemerintahan. Ia, setengah menyesali, mulai menyadari ketertinggalan dirinya dalam ‘lomba’ pengumpulan materi. Ia melihat ke sekelilingnya, teman seangkatan atau bahkan yang jauh lebih muda telah memperoleh hidup lebih nyaman. Ia juga mulai panik melihat keadaan dirinya dan keluarganya yang “dari hari ke hari” semakin sulit.

Ilham baru ini membuatnya mulai berpikir untuk mengambil jalan pintas demi memperbaiki kehidupannya, dan tentu saja keluarganya. Berbagai siasat ilegal mulai singgah di kepalanya, meski selalu diganggu oleh keteguhan prinsip yang selama ini membentenginya–tidak berbuat jahat. Tapi ia menyerah. Ia tiba pada sebuah kesimpulan, “goblok benar aku ini kalau selalu tergantung-gantung pada pertanyaan: adakah yang kukerjakan ini sesuatu kejahatan atau tidak. Ini bukan soal lagi sebenarnya.” (hal. 32)

Ia merasa telah berhasil menundukkan diri sendiri.

Namun, setelah melewati rintangan pertama, diri sendiri, ia harus menerobos halangan berikutnya, orang-orang terdekatnya. Ini pun tidak kalah beratnya. Berkali-kali ia terlibat pertengkaran dengan isteri yang sebelumnya sangat ia cintai, dan dengan susah payah menahan sindiran tajam Sirad, sekertaris kepecayaannya. Beberapa kali ia tersadar dosa yang akan dibuatnya, namun semuanya segera pudar jika, “kembali terbayang segala kemuliaan, kebesaran, keenakan dan kemewahan …sepeda motor, rumah yang mentereng, pendidikan anak-anakku…dan anak-anakku tak perlu lagi hidup kepanasan atau kehujanan” (hal.62-63).

Maka mulailah ia menjalankan rencana. Baginya “kemiskinan adalah kutukan bagi hati yang tidak sederhana” (hal.82).

Singkat cerita—kita lewatkan saja bagian ini yang di masa sekarang sudah berkembang jauh lebih canggih dan telah menjelma monster—setelah malang melintang di dunia korupsi akhirnya ia pun tersandung. Yang lebih penting, seluruh ramalan isterinya benar-benar terjadi, “Kalau engkau sungguh-sungguh tak mau dicegah dalam niatmu, besok lusa engkau jual benteng pertahananmu dengan uang. Kemudian engkau kawin lagi. Kemudian engkau dijauhi kawan-kawanmu. Engkau mendapat kawan-kawan baru yang semua ada dalam ketakutan. Engkau jadi binatang perburuan. Engkau harus lari, terus lari, terus sampai akhirnya rebah sendiri tiada bertenaga.”(hal.49)


* * *


Biasanya orang bicara tentang korupsi dari sudut pandang yang sangat gersang; dari sisi korbannya, penasehat hukumnya, atau pendapat publik. Saya jarang sekali mendapatkan penutur kisah korupsi yang langsung melihat dari kaca mata pelakunya, khususnya bagaimana konflik batin si pelaku atau perbenturannya dengan orang-orang terdekatnya. Memang, dengan sudut pandang pelaku efek catarsis karya ini semakin kuat. Selain itu, dengan leluasa Pramoedya dapat melakukan eksplorasi menukik terhadap tokoh utamanya, mempermainkan kata hati dan pikirannya.


Dalam cerita ini Pram memang menghadirkan alur yang cukup klise, seorang pejabat tiba-tiba sadar akan kekuasaan yang dimilikinya, dan didorong keadaan ekonomi mulai menyalahgunakannya, kemudian terperangkap dalam jaringan korupsi yang mengikatnya dengan erat, sebelum tiba masa kejatuhan dan karirnya pun berakhir di bui. Namun lewat klise ini sebenarnya Pramoedya sedang membujuk kita agar lebih mudah memasuki wilayah ‘pesan’ yang mungkin ingin disampaikannya—atau setidaknya demikianlah saya membacanya.

Ia memang seakan tidak peduli pada jangkauan novel ini, ia mengacuhkan semua faktor yang mungkin mengurangi fokus cerita sehingga tercipta karya yang padat dengan intensitas tinggi.

Hal lain, sesuatu yang selalu muncul dalam karya-karya Pram, seorang ‘wanita kuat’ juga muncul dalam Korupsi. Tokoh isteri Bakir berperan sebagai kontras atau pembanding dari prilaku korup suaminya. Ia muncul sebagai wanita teguh pendirian, setia, dan sensitif terhadap apa yang terjadi pada suaminya. Lewat tokoh ini, meski terkesan tahu-segala, Pramoedya sepertinya hendak menunjukkan elemen apa saja yang menjadi korban dalam prilaku korupsi. Bahwa korupsi, meski dilakukan seorang individu, selalu akan berimbas pada orang lain. Dan sebaliknya, sang pelaku korupsi adalah orang-orang malang yang berada dalam ketakutan, setiap saat. Pram ingin pembacanya tetap punya harapan.

Membacanya kembali saat ini, saya merasa seluruh rakyat Indonesia berubah menjadi isteri Bakir.


*****

*Nurhady Sirimorok. Penulis, peneliti, dan penerjemah. Perintis Komunitas Ininnawa Makassar. Tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar