Mencari
kecacatan dalam cerpen Hamsad Rangkuti bagi saya sama susahnya dengan mencari jarum
di tumpukan jerami. Sebagai orang yang bukan ahli dalam melakukan kritik sastra,
saya merasa tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa secara kebahasaan dan
atau secara teknik. Satu-satunya hal yang kemudian coba saya dekati ketika
membaca kumpulan cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan
Bibirmu” adalah posisi Hamsad sebagai pengarang terhadap runtutan cerita yang
dibangunnya.
Ada
16 cerpen di dalam buku “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan
Bibirmu” dan dari pembacaan saya terhadap buku tersebut, kelemahan cerpen Hamsad
yang tampak di beberapa cerpennya yaitu tidak adanya biografi tokoh-tokoh baik
itu tokoh utama maupun tokoh lainnya. Sebagai suatu peristiwa saya kira tak
masalah jika seorang tokoh tiba-tiba muncul tanpa biografi apapun tetapi
sebagai sebuah cerita tentu biografi sangat dibutuhkan sebagai keterbacaan
kronologis cerita dalam hal ini adalah ketersampaian motif pengarang kepada
pembacanya. Karena itu bagi saya tindakan Hamsad yang tanpa memberikan biografi
ini seolah-olah seperti ia melemparkan tokohnya begitu saja ke dalam wilayah
cerita.
Dalam
cerpen Dia Mulai Memanjat, Hamsad “melemparkan” seorang tokoh laki-laki yang
setiap tengah malam memanjat patung untuk menggergaji kepala patung tersebut. Pekerjaan
itu ia lakukan setiap malam sampai menjelang subuh dan hingga malam ke 12
akhirnya kepala patung tersebut berhasil terpenggal. Siang harinya warga kota
ramai berkumpul di sekitar patung untuk memotret. Malam harinya setelah jalan
raya sepi, laki-laki tersebut mulai memanjat lagi. Dalam cerpen ini hamsad sama
sekali tidak menjelaskan biografi si tokoh laki-laki (siapa, dari mana,
bagaimana) sehingga landasan si tokoh melakukan tindakan-tindakan tersebut
tidak terbaca oleh pembaca. Pembaca seolah hanya disuguhkan sebuah peristiwa tentang
seorang laki-laki yang berhasil memenggal kepala patung.
Dalam
cerpen Pispot, Hamsad kembali “melemparkan” seorang tokoh laki-laki yang
melihat pencuri memasukkan kalung curiannya ke dalam mulut hingga polisi
memaksa si pencuri meminum obat pencahar agar kalung tersebut bisa keluar
tetapi kalung tersebut tidak juga keluar dan si pencuri terbukti tidak
bersalah. Di jalan pulang, kepada si laki-laki si pencuri mengaku bahwa ia
memang menelan kalung curiannya karena perlu biaya pengobatan anaknya yang
sakit. Setiap kali kalung itu keluar di pispot setiap kali itu juga ia
menelannya lagi. Akhir cerita si laki-laki ingin agar si pencuri tetap
mengeluarkan kalung yang ditelannya itu. Sama seperti dalam cerpen Dia Mulai
Memanjat, dalam cerpen Pispot ini Hamsad sama sekali tidak menjelaskan biografi
tokoh si laki-laki. Ini membuat landasan dari tindakan si laki-laki yang tetap
ingin agar si pencuri mengeluarkan kalung tersebut tidak terbaca oleh pembaca. Pun
demikian, kemiskinan macam apa yang dihadapi si pencuri hingga melatari ia
melakukan tindakan se ekstrem itu (menelan kalung berulang kali) tak
terjelaskan dalam cerita. Pembaca seolah hanya disuguhkan peristiwa seorang
laki-laki yang tertipu oleh si pencuri.
Dalam
cerpen Lagu di Atas Bus, Hamsad juga “melemparkan” tokoh 3 orang berseragam
hijau yang masing-masing membawa sepucuk pistol, 2 pucuk pistol dan 3 pucuk
pistol (asumsi tokoh adalah angkatan bersenjata). Orang dengan 2 pucuk pistol
menyuruh orang dengan sepucuk pistol untuk mengganti lagu mars perjuangan dan
memutar lagu Indonesia raya kemudian orang dengan 3 pucuk pistol meminta untuk
mengganti lagu Indonesia raya tersebut tetapi oleh orang dengan sepucuk pistol
dan 2 pucuk pistol sama-sama ingin tetap memutar lagu Indonesia raya dan memaksa
seluruh penumpang untuk menyukai lagu Indonesia Raya sehingga seluruh penumpang
takut untuk mengatakan tidak. Dalam cerpen ini Hamsad tidak menjelaskan
biografi orang berseragam pertama, kedua dan ketiga, sehingga alasan dari
masing-masing tokoh berseragam tersebut ada yang menyukai dan tidak menyukai
lagu Indonesia raya tidak terbaca oleh pembaca. Pembaca seolah hanya disuguhkan
peristiwa lagu Indonesia Raya yang tidak berhasil diganti oleh siapapun, tidak
oleh penumpang pun tidak oleh tokoh dengan 3 pucuk pistol.
Dari
ketiga cerpen di atas tadi, saya kira jelas bahwa Hamsad tidak berencana
menyuguhkan kronologi cerita kepada pembaca melainkan sebatas peristiwa, sebab
biografi tokoh-tokoh tersebut hanya Hamsad sendiri yang mengetahuinya atau
dengan kata lain berada dalam imajinasi Hamsad. Misalnya saja seperti dalam
cerpen Pispot di atas tadi, bahwasanya jika Hamsad memiliki motif hendak
mengangkat soal kemiskinan melalui tokoh si pencuri dalam cerpen tersebut
semestinya Hamsad menggambarkan biografi kemiskinan macam apa yang diderita si
pencuri meski hanya dengan satu atau dua kalimat. Akan tetapi yang terjadi
kemudian Hamsad hanya memunculkan tokoh seseorang yang mencuri kalung tanpa
identitas apapun. Sebagai pembaca saya bisa saja membayangkan bahwa tokoh si
pencuri bukanlah orang yang berada dalam kemiskinan. Saya bayangkan tadinya si
tokoh tersebut hendak membayar pengobatan anaknya yang sedang sakit tetapi
ternyata tiba-tiba uangnya raib dicuri dan karena keterbatasan waktu yang
diberikan rumah sakit sehingga dalam keadaan terdesak ia memutuskan untuk
mencuri kalung. Menurut saya, jika biografi ini saya hadirkan (dalam imajinasi
saya) maka motif pengarang yang hendak mengangkat soal kemiskinan tadi menjadi
batal. Pertanyaannya kemudian kenapa Hamsad memilih melakukan hal tersebut? Motif
apa yang melatari tindakan Hamsad tersebut sebagai seorang pengarang?
Dalam
pengantarnya Hamsad mengatakan bahwasanya cerpen-cerpen yang dia tulis
seringkali hanya dipicu oleh hal-hal kecil semisal dari mendengar perkataan
seseorang atau dari melihat sesuatu (yang sekilas) selebihnya ia kembangkan
dengan daya imajinasinya. Kalau mau merujuk pada pernyataan Hamsad dalam
pengantar bukunya bahwa ia adalah pengelamun yang parah dan kerap membiarkan
pikirannya pergi ke mana dia suka, maka saya kira dapat dibenarkan motif Hamsad
melakukan tindakan seperti yang saya uraikan beberapa tadi adalah tidak untuk berusaha
menampilkan maksud apa-apa melainkan hanya untuk kepuasan si pengarang semata
sehingga runtutan cerita menjadi tidaklah penting. Meski dengan teknik yang
tidak diragukan lagi tetapi saya rasa cerpen-cerpen Hamsad sebenarnya tak
ubahnya seperti cerita sinetron yang dipenuhi oleh imajinasi.
Mataram, 2017
*Tulisan
ini sebagai respon atas pembacaan cerpen Hamsad Rangkuti yang disampaikan dalam
acara Membaca Hamsad, Kamis 19 Oktober, salah satu rangkaian Octofest Textum/Rajutan 2017.
******
*Irma Agryanti. Lahir di Mataram, Lombok. Bergiat di komunitas Akarpohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar