Sabtu, 21 Oktober 2017

Imajinasi Sinetron dalam Cerpen Hamsad Rangkuti

*Irma Agryanti




Mencari kecacatan dalam cerpen Hamsad Rangkuti bagi saya sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Sebagai orang yang bukan ahli dalam melakukan kritik sastra, saya merasa tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa secara kebahasaan dan atau secara teknik. Satu-satunya hal yang kemudian coba saya dekati ketika membaca kumpulan cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” adalah posisi Hamsad sebagai pengarang terhadap runtutan cerita yang dibangunnya.

Ada 16 cerpen di dalam buku “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” dan dari pembacaan saya terhadap buku tersebut, kelemahan cerpen Hamsad yang tampak di beberapa cerpennya yaitu tidak adanya biografi tokoh-tokoh baik itu tokoh utama maupun tokoh lainnya. Sebagai suatu peristiwa saya kira tak masalah jika seorang tokoh tiba-tiba muncul tanpa biografi apapun tetapi sebagai sebuah cerita tentu biografi sangat dibutuhkan sebagai keterbacaan kronologis cerita dalam hal ini adalah ketersampaian motif pengarang kepada pembacanya. Karena itu bagi saya tindakan Hamsad yang tanpa memberikan biografi ini seolah-olah seperti ia melemparkan tokohnya begitu saja ke dalam wilayah cerita.

Dalam cerpen Dia Mulai Memanjat, Hamsad “melemparkan” seorang tokoh laki-laki yang setiap tengah malam memanjat patung untuk menggergaji kepala patung tersebut. Pekerjaan itu ia lakukan setiap malam sampai menjelang subuh dan hingga malam ke 12 akhirnya kepala patung tersebut berhasil terpenggal. Siang harinya warga kota ramai berkumpul di sekitar patung untuk memotret. Malam harinya setelah jalan raya sepi, laki-laki tersebut mulai memanjat lagi. Dalam cerpen ini hamsad sama sekali tidak menjelaskan biografi si tokoh laki-laki (siapa, dari mana, bagaimana) sehingga landasan si tokoh melakukan tindakan-tindakan tersebut tidak terbaca oleh pembaca. Pembaca seolah hanya disuguhkan sebuah peristiwa tentang seorang laki-laki yang berhasil memenggal kepala patung.


Dalam cerpen Pispot, Hamsad kembali “melemparkan” seorang tokoh laki-laki yang melihat pencuri memasukkan kalung curiannya ke dalam mulut hingga polisi memaksa si pencuri meminum obat pencahar agar kalung tersebut bisa keluar tetapi kalung tersebut tidak juga keluar dan si pencuri terbukti tidak bersalah. Di jalan pulang, kepada si laki-laki si pencuri mengaku bahwa ia memang menelan kalung curiannya karena perlu biaya pengobatan anaknya yang sakit. Setiap kali kalung itu keluar di pispot setiap kali itu juga ia menelannya lagi. Akhir cerita si laki-laki ingin agar si pencuri tetap mengeluarkan kalung yang ditelannya itu. Sama seperti dalam cerpen Dia Mulai Memanjat, dalam cerpen Pispot ini Hamsad sama sekali tidak menjelaskan biografi tokoh si laki-laki. Ini membuat landasan dari tindakan si laki-laki yang tetap ingin agar si pencuri mengeluarkan kalung tersebut tidak terbaca oleh pembaca. Pun demikian, kemiskinan macam apa yang dihadapi si pencuri hingga melatari ia melakukan tindakan se ekstrem itu (menelan kalung berulang kali) tak terjelaskan dalam cerita. Pembaca seolah hanya disuguhkan peristiwa seorang laki-laki yang tertipu oleh si pencuri.        


Dalam cerpen Lagu di Atas Bus, Hamsad juga “melemparkan” tokoh 3 orang berseragam hijau yang masing-masing membawa sepucuk pistol, 2 pucuk pistol dan 3 pucuk pistol (asumsi tokoh adalah angkatan bersenjata). Orang dengan 2 pucuk pistol menyuruh orang dengan sepucuk pistol untuk mengganti lagu mars perjuangan dan memutar lagu Indonesia raya kemudian orang dengan 3 pucuk pistol meminta untuk mengganti lagu Indonesia raya tersebut tetapi oleh orang dengan sepucuk pistol dan 2 pucuk pistol sama-sama ingin tetap memutar lagu Indonesia raya dan memaksa seluruh penumpang untuk menyukai lagu Indonesia Raya sehingga seluruh penumpang takut untuk mengatakan tidak. Dalam cerpen ini Hamsad tidak menjelaskan biografi orang berseragam pertama, kedua dan ketiga, sehingga alasan dari masing-masing tokoh berseragam tersebut ada yang menyukai dan tidak menyukai lagu Indonesia raya tidak terbaca oleh pembaca. Pembaca seolah hanya disuguhkan peristiwa lagu Indonesia Raya yang tidak berhasil diganti oleh siapapun, tidak oleh penumpang pun tidak oleh tokoh dengan 3 pucuk pistol.      

Dari ketiga cerpen di atas tadi, saya kira jelas bahwa Hamsad tidak berencana menyuguhkan kronologi cerita kepada pembaca melainkan sebatas peristiwa, sebab biografi tokoh-tokoh tersebut hanya Hamsad sendiri yang mengetahuinya atau dengan kata lain berada dalam imajinasi Hamsad. Misalnya saja seperti dalam cerpen Pispot di atas tadi, bahwasanya jika Hamsad memiliki motif hendak mengangkat soal kemiskinan melalui tokoh si pencuri dalam cerpen tersebut semestinya Hamsad menggambarkan biografi kemiskinan macam apa yang diderita si pencuri meski hanya dengan satu atau dua kalimat. Akan tetapi yang terjadi kemudian Hamsad hanya memunculkan tokoh seseorang yang mencuri kalung tanpa identitas apapun. Sebagai pembaca saya bisa saja membayangkan bahwa tokoh si pencuri bukanlah orang yang berada dalam kemiskinan. Saya bayangkan tadinya si tokoh tersebut hendak membayar pengobatan anaknya yang sedang sakit tetapi ternyata tiba-tiba uangnya raib dicuri dan karena keterbatasan waktu yang diberikan rumah sakit sehingga dalam keadaan terdesak ia memutuskan untuk mencuri kalung. Menurut saya, jika biografi ini saya hadirkan (dalam imajinasi saya) maka motif pengarang yang hendak mengangkat soal kemiskinan tadi menjadi batal. Pertanyaannya kemudian kenapa Hamsad memilih melakukan hal tersebut? Motif apa yang melatari tindakan Hamsad tersebut sebagai seorang pengarang?

Dalam pengantarnya Hamsad mengatakan bahwasanya cerpen-cerpen yang dia tulis seringkali hanya dipicu oleh hal-hal kecil semisal dari mendengar perkataan seseorang atau dari melihat sesuatu (yang sekilas) selebihnya ia kembangkan dengan daya imajinasinya. Kalau mau merujuk pada pernyataan Hamsad dalam pengantar bukunya bahwa ia adalah pengelamun yang parah dan kerap membiarkan pikirannya pergi ke mana dia suka, maka saya kira dapat dibenarkan motif Hamsad melakukan tindakan seperti yang saya uraikan beberapa tadi adalah tidak untuk berusaha menampilkan maksud apa-apa melainkan hanya untuk kepuasan si pengarang semata sehingga runtutan cerita menjadi tidaklah penting. Meski dengan teknik yang tidak diragukan lagi tetapi saya rasa cerpen-cerpen Hamsad sebenarnya tak ubahnya seperti cerita sinetron yang dipenuhi oleh imajinasi.

Mataram, 2017


*Tulisan ini sebagai respon atas pembacaan cerpen Hamsad Rangkuti yang disampaikan dalam acara Membaca Hamsad, Kamis 19 Oktober, salah satu rangkaian Octofest Textum/Rajutan 2017.

******

*Irma Agryanti. Lahir di Mataram, Lombok. Bergiat di komunitas Akarpohon.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar